TEMPO.CO, Jakarta - Orangutan Tapanuli yang menghuni ekosistem Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, baru saja ditetapkan sebagai spesies baru orangutan di Indonesia. Setelah diteliti selama 20 tahun, para ahli menyimpulkan bahwa morfologi orangutan ini berbeda dibanding orangutan Kalimantan dan Sumatera yang sudah lebih dulu ada.
Baca juga: Cerita Pedagang Kain Keliling Menyelamatkan Bayi Orangutan
Baca juga:
Jumlahnya sangat terbatas. Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memprediksi jumlahnya tak sampai 600 individu. Padahal saat pertama ditemukan tahun 1997, jumlahnya diperkirakan 800. Keberadaan mereka menjadi rentan karena aktivitas manusia yang mengepung ekosistem ini.
Majalah Tempo edisi 16 Maret 2018 menulis soal keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Tapanuli Selatan yang sedang dibangun dan akan beroperasi pada 2022. Pembangkit berkapasitas 510 megawatt ini dikecam para aktivis lingkungan karena dikhawatirkan mengganggu habitat orangutan.
Untuk melengkapi liputan tersebut, Tempo menggelar diskusi secara live melalui media sosial Tempo Media pada Kamis, 4 April 2019 pukul 13. Selain perwakilan dari para aktivis lingkungan, diskusi bakal dihadiri perwakilan dari PT North Sumatera Hydro Energy, pembangun PLTA Batang Toru. Selain itu ada juga dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian Energi Sumberdaya Mineral.
Redaktur Pelaksana Desk Investigasi Majalah Tempo Bagja Hidayat mengatakan diskusi digelar untuk mendudukkan soal keberadaan PLTA dan habitat orang utan. Sebab, PLTA ini lebi ramah dibanding sumber energi fosil yang sedang pelan-pelan ditinggalkan karena tak terbarukan dan tak ramah lingkungan. “Ada banyak perdebatan antara kaca mata lingkungan dan kebutuhan energi terbarukan,” kata Bagja, Selasa, 2 April 2019.
Para aktivis juga menyebut pembangunan bendungan PLTA yang berada di daerah rawan gempa, berbahaya karena sewaktu-waktu bisa ambrol dengan menumpahkan jutaan kubik air ke daerah hilir. PLTA membuat air sungai surut karena operasionalnya 18 jam air dibendung lalu menyebabkan banjir karena 6 jam kemudian air dikeluarkan untuk menghidupkan 4 turbin berkapasitas 510 MW.
Sementara PT North Sumatera Hydro Energy mengatakan pendapat tersebut keliru karena hanya 30 persen air sungai Batang Toru yang dialirkan ke gorong-gorong untuk menghidupkan empat turbin.
Proyek PLTA Batang Toru didanai Bank of China. Proyek senilai Rp 21 triliun itu bagian dari Belt and Road Initiative pemerintah Cina. Inisiatif ini merupakan proyek ambisius pemerintah Cina menghidupkan kembali jalur sutra di utara dengan membangun 12.000 kilometer jalur kereta hingga London. PLTA Batang Toru bagian dari rencana ambisius itu untuk jalur selatan.
PT NSHE juga menjelaskan PLTA berada di daerah area penggunaan lain yang bukan habitat alami orang utan. Pembangunan bendungan juga sudah dikaji oleh para ahli konstruksi dan telah mendapatkan izin dari Kementerian Pekerjaan Umum. Karenanya, meski di daerah gempa, konstruksi tetap aman.
Sementara penelitian Kementerian Lingkungan menyebutkan bahwa kebun masyarakat di sekitar area proyek adalah “super market” buah-buahan orangutan. Mereka turun mencari makan ke kebun masyarakat. Bagaimana duduk persoalannya? Simak diskusinya pada Kamis, 4 April 2019.