TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) mendesak segera disahkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Mereka menggelar mimbar politik untuk mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut.
Baca: Anggota Panja RUU PKS: Banyak Dewan tak Paham Perspektif Gender
Baca Juga:
Koordinator Gemas, Mutiara Ika Pratiwi, mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya memiliki waktu enam bulan untuk disahkan. Sebab, masa kerja DPR periode 2014-2019 akan berakhir pada Oktober mendatang. Jika RUU ini tak kunjung disahkan, maka prosesnya harus diulang dari awal lagi.
"Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memasuki tahun yang menentukan," kata Ika dalam mimbar politik di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu malam, 27 Maret 2019.
Di sisi lain, Ika mengingatkan catatan Komisi Nasional Perempuan yang menunjukkan tingginya dan terus meningkatnya angka kekerasan seksual. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, ada peningkatan angka perkosaan dalam perkawinan atau perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah.
Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat 195 kasus perkosaan dalam perkawinan dan 1.071 kasus inses. Ini belum mencakup kasus-kasus yang tak dilaporkan.
Masyarakat yang tergabung dari beberapa organisasi berunjuk rasa agar DPR segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual di Taman Aspirasi, Jakarta, Sabtu, 8 Desember 2018. TEMPO/Ryan Dwiky Anggriawan
Ika mengatakan, Gemas mendesak DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam kerangka keberpihakan terhadap korban. Dalam mimbar tersebut Gemas juga menyerukan tiga sikap.
Baca: Hari Wanita Sedunia, Perempuan Disabilitas Bahas RUU PKS di DPR
Pertama, meminta pemerintah dan DPR membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam setiap sidang pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kedua, mendengarkan suara korban dan menggunakan data-data pelaporan kasus kekerasan seksual sebagai prinsip utama dalam pembahasan.
"Ketiga, memperhatikan enam keunggulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah dikeluarkan oleh Komnas Perempuan," kata Ika yang juga salah satu pembaca deklarasi. Enam keunggulan yang dimaksud ialah hukum acara pidana, pencegahan, pemulihan, pemantauan, ketentuan pidana, dan sembilan jenis kekerasan seksual.
RUU PKS telah menjadi program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2018. Namun, pembahasannya maju-mundur di internal Komisi VIII DPR yang membidangi urusan agama dan sosial. Belakangan, fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta rancangan undang-undang itu tak dilanjutkan lantaran dianggap bertentangan dengan nilai agama dan moral.
Meski begitu, Wakil Ketua Komisi Agama DPR yang juga Ketua Panitia Kerja RUU PKS, Marwan Dasopang mengatakan RUU tersebut tak akan didrop. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan hal senada. Bamsoet, sapaan Bambang, bahkan awalnya menargetkan RUU itu bisa disahkan sebelum pemilihan presiden 2019 April mendatang.
"Paling lambat sebelum masa tugas kami berakhir, tapi kalau pimpinan itu (menargetkan) RUU PKS itu selesai pada masa sidang yang akan datang, sebelum pemilu," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengapresiasi niat DPR untuk mengesahkan RUU ini di periode sekarang. Meski begitu, dia mengatakan masih ada tantangan dalam pembahasan ke depan, terutama meyakinkan fraksi-fraksi di DPR yang belum sepakat.
"Kami sambut respons positifnya meski harap-harap cemas karena ini berpacu dengan waktu," kata Budi di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu malam, 27 Maret 2019.
Baca: Komnas Perempuan Dorong RUU PKS Segera Disahkan
Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini melibatkan 124 organisasi. Di antaranya Perempuan Mahardika, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Pengada Layanan, LBH Apik, dan ratusan lainnya. Dosen Universitas Indonesia Saras Dewi turut hadir dan membacakan puisi dalam acara itu.