TEMPO.CO, Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Manajer Wilayah II PT Wijaya Karya I Ketut Suarbawa sebagai tersangka kasus korupsi proyek Jembatan Bangkinang atau Jembatan Waterfront City, di Kampar, Riau. KPK juga menetapkan Adnan, Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut di Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Kampar, menjadi tersangka dalam perkara yang sama.
"KPK telah menyelesaikan penyelidikan dan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK menaikan status penangangan perkara ini ke tingkat penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jakarta, Kamis, 14 Maret 2019.
Baca: Wijaya Karya Garap Proyek Renovasi Istana Presiden Niger Rp 332 M
Saut menuturkan dalam kasus ini KPK menduga kedua tersangka telah berkongkalikong untuk menaikkan harga pembangunan jembatan. Karena perbuatan mereka, negara rugi sekitar Rp 39,2 miliar dalam proyek bernilai Rp 117,6 miliar tersebut.
Saut berujar kasus bermula saat Pemerintah Kabupaten Kampar mencanangkan beberapa proyek strategis, salah satunya pembangunan Jembatan Bangkinang. Pada pertengahan 2013, Adnan dan beberapa pihak melakukan pertemuan dengan Ketut di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Adnan memerintahkan pemberian informasi mengenai desain jembatan dan harga perkiraan yang dibuat konsultan perencana atau Engineer Estimate kepada Ketut.
Pada Agustus 2013, PT Wijaya Karya akhirnya dinyatakan sebagai pemenang lelang pekerjaan paket pondasi Jembatan Bangkinang. Kontrak proyek kemudian ditandatangani pada Oktober 2013, dengan nilai proyek Rp 15,1 miliar. Setelah kontrak ditandatangani, Adnan kemudian meminta konsultan untuk membuat harga perkiraan proyek. Namun, Ketut meminta kenaikan harga satuan untuk beberapa pekerjaan.
Simak: Kasus Korupsi PT Waskita Karya, KPK Cegah 5 Orang ke Luar Negeri
KPK menyangka kerja sama antara Adnan dan Ketut dalam penetapan harga perkiraan sendiri itu terus berjalan hingga tahun jamak, yakni pada APBD 2015, APBD Perubahan 2015 dan APBD 2016. "Atas perbuatan ini, ADN (Adnan) diduga menerima uang kurang lebih sebesar Rp 1 miliar atau 1 persen dari nilai kontrak," kata Saut.
Saut menyayangkan ketika korupsi terjadi melibatkan pejabat yang berada pada BUMN yang mengerjakan konstruksi, dalam hal ini PT Wijaya Karya Tbk. Perusahaan milik negara, kata dia, seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian lebih, dibandingkan sektor swasta. "Dan juga seharusnya ada sikap tegas di kepemimpinan BUMN untuk menerapkan good corporate governance," kata dia.