TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Habibie Centre, Vidya Hutagalung, mengatakan pelibatan perempuan dalam jaringan terorisme semakin aktif dalam dua tahun terakhir. "Kecenderungan sekarang memang ada transformasi peran perempuan yang semula lebih sebagai pendukung, sekarang ke arah eksekutor. Contoh besar saat kasus bom Surabaya tahun lalu," kata Vidya kepada Tempo, Kamis, 15 Maret 2019.
Baca: Polisi Sebut Istri Terduga Teroris Sibolga Lebih Radikal
Vidya menjelaskan, berkaca dari kasus ledakan bom di Surabaya dan Sibolga, para perempuan yang berada di jaringan Jamaah Ansharut Daulah memang berafiliasi dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Di dalam ISIS, kata Vidya, perempuan didorong untuk maju sebagai eksekutor dengan pemahaman mereka mendukung para lelaki.
"Selain itu, masih ada juga faktor-faktor ideologi, kekecewaan terhadap demokrasi dan pemerintahan yang menurut mereka butuh untuk diperjuangkan dan butuh perempuan ikut ambil bagian," katanya.
Vidya mengatakan, paham radikalisme tidak memandang gender. Baik laki-laki maupun perempuan punya peluang teradikalisasi yang sama. Namun, cara pemahaman yang cenderung berbeda. Vidya menuturkan, perempuan teradikalisasi melalui progaranda yang tersebar di sosial media dan dakwah atau kelompok-kelompok pengajian.
Sebelumnya, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap seorang terduga teroris bernama Husain alias Abu Hamzah di Sibloga, Sumatera Utara. Penangkapan itu terjadi pada Selasa, 12 Maret 2019 sekitar pukul 14.23 WIB.
Tim Densus 88 Antiteror membawa Husain ke rumahnya untuk melakukan penggeledahan. Namun, saat digeledah, bom meledak. Ledakan itu rupanya dilakukan oleh istri Husain. Ia meledakkan diri bersama dua orang anaknya di rumahnya.
Aksi bunuh diri itu dilakukan setelah sebelumnya lebih dari sembilan jam polisi membujuk istri dan kedua anak Husain untuk keluar rumah dan menyerahkan diri. Mereka lebih memilih bertahan di dalam rumah sejak Husain ditangkap.
Simak juga: AM Hendropriyono: Organisasi Papua Merdeka Itu Teroris
Aksi perempuan meledakkan diri bukan sekali ini terjadi. Pada Mei 2018, pelaku serangan bom di tiga gereja ialah satu keluarga, yaitu suami, istri, dan keempat anak mereka. Lokasi gereja yang dibom adalah Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna.