TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Negeri Jakarta serta aktivis Robertus Robet akhirnya dijerat Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh polisi. "Pasal utamanya 207 unsur paling kuat, konstruksi hukumnya terpenuhi," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo di kantor Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Maret 2019.
Berita terkait: Rumah Robertus Robet Dipantau Personel dari 3 Matra TNI.
Baca Juga:
Polisi akhirnya hanya mengenakan pasal ini untuk menjerat Robertur Robet meski sebelumnya sempat membawa Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Robertus Robet disangka menghina institusi Tentara Nasional Indonesia lantaran refleksinya saat Aksi Kamisan pekan lalu, Kamis, 28 Februari 2019. Tema Aksi Kamisan hari itu ialah menolak wacana dwifungsi militer dengan adanya rencana pemerintah memperluas jabatan sipil untuk TNI.
Dalam refleksinya, Robet menyanyikan pelesetan Mars ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang akrab dinyanyikan aktivis di era menjelang reformasi. Bagian inilah yang kemudian dipotong dan diviralkan oleh pihak tertentu hingga berujung pada penangkapan Robet. Inti pidato Robet adalah mengkritik niat pemerintah memberi jabatan sipil kepada TNI karena ini bisa berujung pada praktek Dwifungsi ABRI seperti masa silam. Robet ingin TNI tetap profesional sebagai alat pertahanan negara.
Robet ditangkap dan kemudian dijadikan tersangka berdasar Pasal 207 KUHP tersebut. Pasal ini mengatur tentang penghinaan kepada penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Bunyi pasal tersebut ialah "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Namun, penerapan Pasal 207 KUHP ini dinilai tak tepat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi serta kuasa hukum Robertus Robet. "Pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi atau draconian laws dan sungguh tidak tepat," kata salah satu tim kuasa hukum Robertus Robet, Yati Andriyani, Kamis, 7 Maret 2019.
Tim hukum menyinggung Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa "dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)."
Bagian lain putusan itu mengatakan, "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Pertimbangan soal Pasal 207 itu termuat dalam putusan MK atas permohonan uji materi terhadap Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang mengatur tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, yang diajukan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis pada Juli 2016. Eggi mengajukan judicial review itu setelah didakwa menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dedi Prasetyo mengatakan penangkapan Robertus Robet didasarkan laporan model A. Artinya, polisi membuat pengaduan sendiri setelah mengetahui adanya dugaan tindak pidana, tanpa adanya aduan pihak lain. Robertus Robet ditangkap di rumahnya pada Rabu malam, 6 Maret 2019 di rumahnya, Depok, Jawa Barat dan langsung dibawa ke Bareskrim Mabes Polri.
"Polisi secara proaktif membuat laporan polisi model A untuk dapat melakukan langkah-langkah penegakan hukum dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, baik yang ada di medsos dan yang ada dunia nyata," kata Dedi.
Saat ditanya soal putusan MK yang menyinggung Pasal 207 KUHP itu, Dedi berujar polisi sudah bertindak berdasarkan alat bukti dan analisis saksi ahli. "Itu teknis sekali, jangan saya menjelaskan seperti itu. Secara global sesuai fakta hukum yang disampaikan penyelidik kepada saya," ujarnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | KORAN TEMPO