TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan berbagai upaya untuk mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Dewan Perwakilan Rakyat. Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan sejak awal lembaganya sudah ikut mendorong pengesahan RUU tersebut lewat penyusunan naskah akademik.
Baca: Kementerian Perempuan Targetkan RUU PKS Disahkan Agustus 2019
Mereka juga terus-menerus menyuarakan betapa pentingnya keberadaan UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual nantinya. Caranya, Komnas Perempuan menunjukkan fakta-fakta ihwal tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan. "Fakta-fakta itu dapat dilihat setiap tahun dalam catatan tahunan Komnas Perempuan. Jumlah kekerasan terhadap perempuan naik sebesar 14 persen, di antaranya adalah kekerasan seksual," kata Mariana, Kamis, 7 Maret 2019.
Sesuai dengan catatan Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual terhadap perempuan dalam dua tahun terakhir mencapai 5.191 kasus. Bentuk kekerasan seksual ini dibagi sembilan jenis, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan melakukan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Kekerasan seksual tertinggi adalah pencabulan yang mencapai 1.136 kasus, tahun lalu. Angka ini naik 225 kasus dibanding satu tahun sebelumnya.
Pelaku kekerasan seksual rata-rata orang terdekat korban, seperti pacar, ayah kandung, dan paman. Pelaku paling banyak adalah pacar korban, yang angkanya mencapai 1.670 kasus pada 2018. “Para pelaku adalah mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan atas terjadinya kekerasan seksual,” kata Mariana.
Baca: Komnas Perempuan: Yang Menolak RUU PKS Berarti Belum Baca Draf
Selain Komnas Perempuan, berbagai lembaga ikut mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan di Dewan. Akhir bulan lalu, puluhan pemerhati perempuan di Yogyakarta mendesak agar DPR segera mengesahkan rancangan tersebut menjadi undang-undang. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan karena sistem hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur tindakan pemerkosaan dan pencabulan. Padahal, kata dia, ada berbagai jenis kekerasan seksual selain pemerkosaan dan pencabulan. Selain itu, “Sistem hukum pidana selama ini cenderung melindungi pelaku pemerkosaan dan pencabulan,” kata Sri Wiyanti.
Ia mengatakan hak-hak korban juga kurang diakomodasi dalam KUHP. Dari sekitar 500 pasal, hanya tiga pasal yang berbicara tentang hak-hak korban. Berdasarkan fakta di lapangan, kekerasan seksual sangat berdampak buruk pada korban, baik fisik maupun psikis. “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sebagai bentuk koreksi atas penanganan korban secara hukum,” katanya.
Pengurus Alimat Jakarta, Maria Ulfah Anshor, mengatakan lembaganya bersama Kongres Ulama Perempuan Indonesia ikut terlibat dalam pembahasan RUU PKS. Komisi VIII DPR, yang membidangi urusan agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pernah mengundang mereka untuk membahas RUU PKS ini, beberapa waktu lalu. “Kami memberi beberapa masukan kepada Komisi VIII,” kata Maria.
Baca: DPR Lanjutkan Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pendapat senada diutarakan pengurus Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak, Yogyakarta, M. Ikhsanuddin. Ia mengatakan Islam secara tegas menolak kekerasan seksual, misalnya dengan melarang perbudakan seksual dan pemerkosaan. Ia juga mendorong agar DPR secepatnya mengesahkan RUU ini. “RUU tersebut harus segera disahkan karena melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual,” kata Ikhsanuddin.
SHINTA MAHARANI