TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menyatakan penangkapan aktivis HAM Robertus Robet didasarkan pada laporan model A. Dalam model ini, polisi membuat sendiri laporannya setelah menemukan indikasi tindak pidana tanpa adanya aduan pihak lain.
Baca juga: Selesai Diperiksa Bareskrim, Robertus Robet Dipulangkan
Juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan laporan model A ini sesuai dengan tugas lembaganya menjaga ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Polisi secara proaktif membuat laporan polisi model A untuk dapat melakukan langkah-langkah pengakan hukum dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, baik yang ada di medsos dan yang ada dunia nyata," kata Dedi di kantor Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Maret 2019.
Robertus Robet sebelumnya ditangkap pada Rabu malam, 6 Maret 2019 di rumahnya di Depok, Jawa Barat. Penangkapan itu terkait dengan refleksinya saat Aksi Kamisan pekan lalu, Kamis, 28 Februari yang menyoroti rencana pemerintah memperluas jabatan sipil untuk Tentara Nasional Indonesia.
Dalam refleksinya, Robet membawakan pelesetan Mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang populer di masa reformasi. Video Robet di bagian menyanyikan lagu inilah yang kemudian dipotong dan diviralkan, hingga berujung pada penangkapannya.
Namun, Robet dalam refleksinya sebenarnya telah menyampaikan kritiknya secara utuh. Dia mengatakan, kritik terhadap rencana perluasan jabatan sipil untuk TNI bertentangan dengan semangat reformasi dan semangat supremasi sipil. Dia juga menegaskan, kritik itu disampaikan lantaran ingin mendorong TNI yang profesional sebagai alat pertahanan.
"Bukan karena kita membenci tentara, kita mencintai tentara. Tentara yang apa? Tentara yang profesional untuk menjaga pertahanan Indonesia," ujar Robet dalam refleksinya di Aksi Kamisan pekan lalu, Kamis, 28 Februari 2019.
Polisi menetapkan Robet sebagai tersangka dugaan kasus penghinaan terhadap institusi TNI. Dia diduga melanggar Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
"Apa yang disampaikan itu tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya dan itu mendiskreditkan, tanpa ada data dan fakta, itu mendiskreditkan salah satu institusi, itu berbahaya," kata Dedi.
Dedi lantas menyinggung Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat. Dia mengatakan, kebebasan berpendapat tidaklah mutlak tetapi terbatas. Kata Dedi, Pasal 6 UU itu menyebutkan lima kriteria.
Pertama, menghormati hak asasi orang lain dalam menyampaikan pendapat di muka publik. Kedua, menghormati aturan moral yang berlaku. Ketiga, menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Terakhir ialah menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan.
"Ketika narasi-narasi yang disampikan secara verbal mengandung lima unsur tersebut, itu adalah perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya dari penyidik menerapkan Pasal 207 KUHP," ujarnya.
Namun keterangan berbeda disampaikan perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil yang mendampingi Robertus. Ahli hukum pidana Bivitri Susanti mengatakan, penangkapan Robet berdasarkan pada laporan pihak lain. Dia pun menyebut nama Letnan Jenderal TNI (purn) Johannes Suryo Prabowo sebagai pelapor.
Baca juga: Ketua LBH Sebut Sebelum Ditangkap Robertus Robet Dapat Ancaman
"Pasal 207 itu kan delik aduan, memang ada Pak J.S. Prabowo namanya, senior. Dulu mantan Kasum (Kepala Staf Umum TNI) kalau tidak salah. Itu dia yang menjadi pengadunya, kalau yang resminya ya," kata Bivitri di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019.
Bivitri mengatakan, nama Johannes Suryo Prabowo tertera dalam surat laporan kepolisian yang ditunjukkan kepada Robertus Robet saat pemeriksaan. Suryo Prabowo saat dikonfirmasi membantah dirinya melaporkan dosen Universitas Negeri Jakarta itu. "Buktinya apa? Tidak benar," kata Suryo.