TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi mendesak kepolisian membebaskan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet tanpa syarat. Salah satu tim kuasa hukum Robet, Yati Andriyani mengatakan, penangkapan aktivis HAM itu tak memiliki landasan hukum.
Baca: Polisi Benarkan Telah Tetapkan Robertus Robet Sebagai Tersangka
"Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi," kata Yati melalui siaran tertulis, Kamis, 7 Maret 2019.
Robertus Robet ditangkap polisi di rumahnya di Depok, Jawa Barat pada Rabu malam, 6 Maret 2019 sekitar pukul 23.45 WIB. Penangkapan itu terkait dengan refleksinya saat Aksi Kamisan pekan lalu, Kamis, 28 Februari 2019.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap Robet. "Robet ditangkap atas dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia," kata Dedi melalui pesan singkat, Kamis, 7 Maret 2019.
Yati membeberkan, alasan penangkapan adalah Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Baca: Dituduh Menghina TNI, Robertus Robet: Saya Memuji Reformasi TNI
Yati menuturkan, Aksi Kamisan hari itu menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kementerian dan lembaga sipil. Rencana ini, kata Yati, jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang TNI, dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Yati mengatakan hal ini juga berlawanan dengan semangat reformasi TNI. Tak cuma itu, rencana tersebut mengingatkan publik pada dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semasa Orde Baru.
Tim kuasa hukum Robet lainnya, Arif Maulana, mengatakan Robet tak sedikitpun menghina institusi TNI. Dia mengingatkan bahwa perluasan jabatan TNI justru menempatkan korps loreng itu di luar fungsi pertahanan yang malah akan mengganggu profesionalitas seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.
"Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI yang profesional," kata Arif melalui keterangan tertulis yang sama.
Pasal 28 Ayat (2) juncto, UU ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."
Menurut Arif, jika yang dianggap masalah adalah refleksinya, Robet tak menyebarkan informasi apa pun melalui transaksi elektronik. Kedua, refleksi itu memberikan komentar berdasarkan kajian akademik terhadap suatu kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Berikutnya, TNI bukan individu dan tidak bisa dikecilkan menjadi kelompok masyarakat tertentu.
"Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," ujar Arif.
Baca: Sebelum Ditangkap Polisi, Rumah Robertus Robet Didatangi Tentara
Robertus Robet saat ini masih berada di Bareskrim Mabes Polri. Dia diadvokasi oleh perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, Jurnal Perempuan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | IMAM HAMDI