TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat sejumlah kejanggalan dalam argumen dua calon presiden, dalam debat capres kedua yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Ahad, 17 Februari 2019 lalu. Mengangkat tema energi dan pangan, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan hidup, debat itu dinilai WALHI belum menyentuh akar permasalahan.
Baca juga: Jokowi Singgung Tanah, Timses Prabowo Hampiri Komisioner KPU
Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati alias Yaya mengatakan kesalahan argumen ini ada di tiap tema yang dibahas kedua calon. "Secara umum, pada proses debat ini ada kecenderungan calon 01 yang klaim terlalu berlebihan. Pada sisi lain calon 02 terkesan tidak menguasai masalah, dan menyampaikan secara umum dan terkesan hanya jargon," kata Yaya, dalam konferens pers di Kantor WALHI, Mampang, Jakarta Selatan, Senin, 18 Februari 2019.
Berikut beberapa kesalahan argumen dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang dicatat WALHI.
1. Bidang Infrastruktur dan Konflik yang Ditimbulkan
WALHI menyoroti argumen Jokowi yang menyebut sepanjang pemerintahnya, hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan dalam pembangunan infrastruktur. Merujuk pada laporan ke Kantor Staf Presiden (KSP), tercatat ada total 555 kasus yang dilaporkan.
"Tercatat 19 kasus dengan 631 KK terdampak, dengan luasan konflik mencapai 2.288 hektare," kata Yaya.
Untuk calon presiden nomor 2, WALHI menilai penguasaan masalah yang dimiliki Prabowo masih kurang. Hal ini terlihat dari pembahasan di yang hanya menyinggung soal ganti rugi dan tukar guling tanah saja. "Ia tak menyinggung menyinggung mekanisme penyelesaian konflik, mensimplifikasi hanya persoalan ganti rugi justru menunjukkan bahwa penguasaan masalah yang minim," kata Yaya.
2. Bidang Energi, Lingkungan Hidup, dan Sumber Daya Alam
Pernyataan Jokowi menyebutkan tidak ada kebakaran hutan di lahan gambut selama 3 tahun terakhir. Namun dari data titik panas (hotspot) WALHI, dari 8.617 titik panas sepanjang 2018, 3.427 titik panas berada di lahan gambut.
WALHI juga menilai kedua calon tidak menyinggung hal substantif. Terkait sawit, kedua pasangan justru kompak mendukung sawit, serta menyandarkan pada biodiesel dan terkesan mengabaikan dampak lingkungan hidupnya.
"Ada kecenderungan kedua calon justru ingin mendorong energi yang berbasis lahan, tanpa menyinggung rencana phase out dan roadmap untuk lepas dari energi kotor dan tidak ramah lingkungan," kata Yaya.
3. Bidang Reforma Agraria
Terkait program Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), juga menjadi sorotan. Dalam debat, Jokowi mengklaim tidak membagi lahan ke yang “gede-gede”.
Namun WALHI menilai ada persoalan mendasar yang tidak disinggung. Menurut Yaya, dua yang utama adalah upaya penyelesaian konflik yang tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan, bahkan cenderung bertambah; dan target yang tercapai PS dan TORA tidak signifikan.
Calon nomor urut 02 justru nampak salah memahami persoalan reforma agraria. Prabowo menyebutkan jika terus membagi tanah, maka tanah akan habis. Ia menilai solusinya menggunakan pasal 33, yang meenyebut “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara..”.
"Pernyataan ini mengesankan bahwa kandidat salah memahami HMN (Hak Menguasai Negara). Perlu diingat bahwa dalam putusan MK, bahwa Hak Menguasai Negara tidak sama dengan Hak Memiliki," kata Yaya.
DI ranah penegakan hukum, WALHI juga menilai kedua calon tidak masuk pada pembahasan yang strategis oleh korporasi. Prabowo hanya menyebutkan akan menegakkan hukum perusahaan-perusahaan, sedangkan Jokowi justru memberikan klaim berlebihan. Jokowi menyebut penanganan kebakaran hutan bisa diatasi karena ada penegakan hukum terhadap 11 perusahaan dan sudah diberi denda totalnya mencapai 18 triliun.
Menurut Yaya, meski disebutkan kemenangan dalam gugatan terhadap korporasi, faktanya pada 2015-2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengantongi deposit kemenangan terhadap korporasi dalam gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 16,94 triliyun untuk kerugian lingkungan hidup dan Rp 1,37 triliyun untuk biaya pemulihan. "Namun belum ada satupun putusan yang sudah dieksekusi hingga saat ini," kata Yahya
4. Bidang Pertambangan dan Pencemaran
Walhi menilai kedua calon tidak menyinggung mekanisme penegakan hukum dan terkesan tidak menguasai masalah dalam debat capres kedua ini. Hal ini terlihat dari keputusan kompak keduanya untuk mengakhiri perdebatan meski masih memiliki waktu.
Baca juga: Bantah Pakai Earpiece, Jokowi: Jangan Buat Fitnah Tidak Bermutu
"Tidak ada pembahasan mekanisme penegakan hukum, pada kasus pencemaran terkait Citarum misalnya, masih banyak perusahaan yang belum ditindak," kata Yaya. Selain itu, perkara lubang tambang juga tak dibahas. Padahal hal ini masih cukup krusial mengingat korban di lubang tambang masih terus berjatuhan.
"Debat ke-2 ini menjadi cerminan bahwa masih banyak pekerjaan rumah ke depan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam," kata Yaya.