TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) menilai mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan melanggar prinsip good governance atau tata kelola yang baik dan bertanggung jawab saat memimpin Pertamina. Bahkan jaksa menganggap kerugian negara yang ditimbulkan Karen bukan sekadar akibat aksi korporasi.
Baca: Jaksa: Eks Bos Pertamina Karen Agustiawan Rugikan Negara Rp 568 M
"Perbuatan terdakwa tidak sesuai dengan good governance. Ada hal yang sengaja dilakukan terdakwa sehingga merugikan korporasi," kata jaksa Tumpal Pakpahan menanggapi eksepsi Karen di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 14 Februari 2019.
Alhasil, jaksa pun meminta agar hakim menolak nota keberatan yang diajukan Karen. "Kami memohon agar majelis hakim memutuskan menyatakan surat dakwaan cermat, jelas dan lengkap sesuai syarat formil dan materil. Menyatakan eksepsi tidak dapat diterima dan memerintahkan jaksa melanjutkan sidang pokok perkara," ucap jaksa Tumpal Pakpahan melanjutkan.
Dalam perkara ini, Karen Galaila Agustiawan didakwa merugikan negara hingga Rp568 miliar. Dia didakwa bersama dengan mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan, Chief Legal Counsel and Compliance Pertamina Genades Panjaitan, dan Manager Merger dan Akuisisi Pertamina Bayu Kristanto.
Jaksa mendakwa Karen telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum telah mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina, yang antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Ketentuan atau Pedoman Investasi lainnya.
Ketentuan atau Pedoman Investasi lainnya, yakni dalam Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia Tahun 2009, yaitu telah memutuskan melakukan Investasi Participating Interest (PI) di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu.
Baca: Sidang Perdana Mantan Bos PT Pertamina Karen Agustiawan
Selain itu, Karen juga menyetujui PI Blok BMG tanpa adanya due diligence serta tanpa adanya Analisa Risiko yang kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA) tanpa adanya pesetujuan dari Bagian Legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina.