Iklan
Ketika mengikuti perkembangan berita meninggalnya Soeharto, satu hal yang saya tunggu-tunggu: akankah lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki yang syahdu itu berkumandang seragam di media-media siaran (terutama televisi) Indonesia? Rasa ingin tahu ini berbalut rasa cemas, karena jika hal itu benar-benar terjadi, lengkaplah sudah upaya media siaran memobilisasi emosi khalayak, hingga berujung pada kedukaan kolektif, ibarat tengah melepas seorang pejuang sejati tanpa cacat-cela dan kontroversi. Kor seragam lagu Gugur Bunga itu tak sampai terjadi. Memang ada setidaknya empat televisi swasta--juga beberapa stasiun radio--yang memutar lagu tersebut, tapi suaranya "sayup-sayup" di latar belakang atau diputar hanya dalam rentang waktu yang boleh dibilang tidak terlampau signifikan. Ini sangat berbeda dengan saat meninggalnya Tien Soeharto pada 1996, ketika RCTI berhasil menggerakkan emosi khalayak lewat Gugur Bunga yang masih berkumandang bahkan setidaknya hingga tiga hari sesudah itu. Beberapa faktor ikut berperan dalam menghadirkan suasana yang berbeda antara saat meninggalnya Tien Soeharto dan Soeharto. Kepergian Tien terbilang mendadak sehingga efek kejutnya lumayan besar, berbeda dengan Soeharto yang telah sakit lebih dari tiga pekan sebelumnya. Lalu ada peran RCTI yang mengambil peran sebagai trend-leader sehingga muncullah media hype yang tak bisa dihindarkan oleh televisi lain. Di atas semua itu, Soeharto masih memiliki kekuasaan yang nyata, sehingga tak ada media yang mau mengambil kebijakan berbeda dengan apa yang menjadi arus utama. Saat Soeharto berpulang, kekuasaannya tak lagi nyata, ditambah pula kontroversi mengenai sosoknya yang berada di dua kutub, antara pahlawan dan Bapak Pembangunan, berhadapan dengan citranya sebagai pemimpin otoriter serta tuduhan pelanggaran hak asasi dan korupsi-kolusi-nepotisme yang dilontarkan sejumlah kalangan. Di atas semua itu, pandangan kritis yang diutarakan banyak pihak mengenai liputan berlebihan media selama sakitnya Soeharto boleh jadi ikut mempengaruhi para pengelola media, termasuk yang memiliki kedekatan dengan keluarga/kroni Soeharto. Peluit ketelSaat Soeharto meninggal, ada semacam titik batas yang seperti tak dapat dilewati oleh berbagai pihak yang tampak berupaya menciptakan kedukaan kolektif dan berjamaah itu. Situasi ini ibarat air yang tengah dijerang di sebuah ketel kecil dengan penutup di mulutnya yang bisa mengeluarkan bunyi serupa peluit: air di dalam ketel mulai menimbulkan gelegak-gelegak kecil, tapi tekanan uapnya belum sanggup membunyikan peluit di mulut ketel tersebut. Banyak peristiwa dengan peluit ketel itu berbunyi nyaring. Misalnya saat Putri Diana wafat. Juga pada saat kepergian John F. Kennedy, bahkan Bung Karno dan Bung Hatta. Untuk sosok terakhir ini, yang wafat 14 Maret 1980, seorang Iwan Fals bahkan merasa perlu mengabadikannya dalam lagu dengan lirik yang menggugah itu: hujan air mata dari pelosok negeri/saat melepas engkau pergi/sejuta kepala tertunduk haru/teringat nama seorang sahabat/yang tak lepas dari namamu....Sayup-sayup saya masih ingat adegan 38 tahun lalu itu. Ketika itu saya berusia 6 tahun dan baru masuk sekolah dasar. Soeharto, didampingi istrinya, melawat ke Kota Jambi, kota kelahiran saya. Ribuan orang berkerumun ingin menyaksikan prosesi itu: Soeharto dan istrinya berjalan menuju rumah dinas gubernur, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah orang tua saya. Soeharto disambut dengan sukacita. Ada ketulusan kolektif di situ. Tubuh kecil saya didudukkan oleh ayah saya di pundaknya, sehingga bisa melihat prosesi itu dengan cukup leluasa.Ketulusan kolektif semacam itulah yang gagal saya lihat dan rasakan pada saat jasad Soeharto melewati rute antara Rumah Sakit Pusat Pertamina dan kediamannya di Cendana, Jakarta, lalu menuju makamnya di Astana Giribangun. Benar bahwa ada masyarakat yang berbaris di ruas-ruas jalan yang dilalui rombongan yang membawa jenazah Soeharto, tapi suasananya secara keseluruhan terasa tidak penuh. Andai kata Soeharto tidak pergi membawa pro-kontra yang tajam, hampir pasti aspal di ruas-ruas jalan yang dilewatinya akan lembap oleh tetes air mata rakyat yang berduka. Saat Soeharto pergi, sebagian masyarakat bahkan tampak tak peduli terhadap imbauan pengibaran bendera setengah tiang. Koran ini bahkan menyebutnya sebagai "bendera setengah hati". Pelajaran bagi mediaHal lain yang juga menarik untuk dicatat mengenai liputan media dalam kaitannya dengan meninggalnya Soeharto adalah bahwa betapa tidak siapnya media meliput peristiwa dengan nilai berita yang tinggi seperti ini. Media seperti kehilangan perspektif yang luas dan lengkap, antara lain akibat saling tersedot ke dalam "kerumunan", sehingga membuat media saling mengekor, takut ketinggalan, tapi isu yang diliput sebagian besar bukanlah isu yang penting. Televisi dan radio yang memiliki keunggulan untuk melaporkan perkembangan secara langsung dan real-time tampak tergopoh-gopoh dan sibuk menginformasikan hal serupa berulang-ulang, tapi tidak mendudukkannya dalam konteks yang lebih luas agar dapat membuat khalayak lebih cerdas. Beberapa menit setelah Soeharto dikabarkan meninggal, sebuah stasiun televisi swasta berhasil melakukan wawancara langsung melalui telepon dengan Moerdiono, salah satu orang terdekat Soeharto yang setia mendampingi Soeharto sampai ujung usia. Secara jurnalistik, Moerdiono tentu narasumber yang sangat penting dalam konteks kepergian Soeharto ini. Namun, tidak banyak yang dapat digali dari mantan Menteri Sekretaris Negara itu; sekadar pengulangan atas konfirmasi bahwa benar Soeharto telah tiada. Sang presenter tampak tak berupaya lebih ngotot menggali bagaimana kondisi Soeharto di detik-detik terakhirnya (karena Moerdiono tidak bersedia menjawab pertanyaan tersebut), padahal masih bisa dicoba dengan memancingnya lewat pendekatan kemanusiaan, misalnya saja apakah Moerdiono menangis, siapa saja di antara keluarga yang menangis, dan siapa yang membacakan doa.Kecuali hanya satu atau dua reporter yang tampil lumayan tertata, sebagian besar televisi melaporkan langsung dengan tampilan yang gugup dan gagap. Ada reporter yang menyebut, "Kira-kira setengah jam yang lalu berlangsung jumpa pers...", ada pula yang seperti ini, "Pukul 15.00 nanti jenazah akan dibawa ke rumah sakit Cendana" (sampai tiga kali istilah "RS Cendana" ini diulangi). Semua persoalan ini bisa dicegah lewat persiapan matang. Bukankah Soeharto sudah menjalani hari-hari sakit yang panjang, sehingga media wajib berjaga-jaga jika dia benar-benar pergi? Dalam berjaga-jaga ini tentunya banyak hal yang bisa disiapkan, mulai rancangan liputan, materi yang akan disajikan, hingga narasumber yang akan dihadirkan. Para reporter semestinya bisa diwajibkan setiap hari minimal setengah jam berlatih melakukan laporan langsung agar pemirsa tak terganggu oleh cara penyampaian yang berlepotan itu. Yang lebih gawat, karena terkait dengan urusan yang lebih substansial, bahkan ada satu stasiun televisi yang terlambat melaporkan langsung peristiwa meninggalnya Soeharto ini. Stasiun ini baru menyiarkan berita penting tersebut secara langsung lebih dari 30 menit sejak peristiwanya terjadi. Keesokan harinya, stasiun yang sama juga terlambat melaporkan dari Cendana menjelang prosesi pemberangkatan jenazah ke Giribangun. Soeharto memang telah berada di alam yang terpisah dengan kita. Namun, warisannya terus hadir di alam tempat kita masih hidup ini. Termasuk juga dalam hal bagaimana media memperlakukan diri sang Jenderal besar di hari-hari terakhir dalam hidupnya, yang tetap menarik dijadikan bahan perbincangan dan kajian. ARYA GUNAWAN, MANTAN WARTAWAN KOMPAS DAN BBC DI LONDON, KINI BEKERJA UNTUK UNESCO*) *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.