TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan alasannya mengeluarkan kebijakan menarik dan merevisi buku ajar yang menyebut Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi radikal di masa penjajahan.
Baca: Mendikbud Tarik Buku SD yang Sebut NU Organisasi Radikal
Tokoh Muhammadiyah ini mengatakan, kebijakan itu dikeluarkan menimbang kata radikal akhir-akhir ini lebih berkonotasi negatif atau peyoratif. Berbeda dengan konteks pembahasan peristiwa dalam buku itu yaitu di era penjajahan. Di mana kata radikal bermakna amelioratif, atau berkonotasi baik karena melawan penjajahan Belanda.
"Jadi, saya setuju dengan para guru yang mengajukan protes kepada saya agar (buku itu) direvisi, karena itu menyulitkan guru di lapangan untuk memberikan pemahaman kepada anak usia SD," ujar Muhadjir saat dihubungi Tempo, Jumat, 8 Februari 2019.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menarik buku yang menyebut Nahdlatul Ulama sebagai organisasi radikal, menyusul protes yang dilayangkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU.
Ketua PBNU Robikin Emhas mengirimkan isi buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013 Sekolah Dasar (SD) kelas V itu kepada Tempo. Dalam buku itu terdapat diksi Nahdlatul Ulama digolongkan sebagai organisasi radikal menentang penjajah Belanda pada masa kemerdekaan.
Tertulis dalam sebuah kolom penjelasan tentang Masa Awal Radikal (1920-1927-an). Begini isi lengkap bagian tersebut; "Perjuangan Indonesia melawan penjajah pada abad ke-20 disebut masa radikal karena pergerakan-pergerakan nasional pada masa ini bersifat radikal terhadap pemerintah Hindia/Belanda. Mereka menggunakan asas nonkooperasi/tidak mau bekerjasama. Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI)".
Buku tersebut diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri nomor 57 tahun 2014 sebagai bentuk implementasi kurikulum 13. Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini mengatakan, organisasinya protes kepada Kemendikbud karena memakai frasa organisasi radikal yang bersikap keras menentang penjajahan Belanda.
PBNU menyayangkan diksi organisasi radikal yang digunakan oleh Kemendikbud dalam buku tersebut. "Istilah tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman oleh peserta didik di sekolah terhadap Nahdlatul Ulama," ujar Helmy, kemarin.
Helmy menjelaskan, frasa tersebut menjadi persoalan karena organisasi radikal belakangan identik dengan organisasi yang melawan dan merongrong pemerintah, melakukan tindakan-tindakan radikal, menyebarkan teror dan lain sebagainya. "Pemahaman seperti ini akan berbahaya, terutama jika diajarkan kepada siswa-siswi," ujar dia.
Simak juga: Di Depan Kiai NU, Ma'ruf Amin: 212 Telah Menjadi Gerakan Politik
Pengurus Besar NU kemudian menggelar rapat dengan Kemendikbud pada Rabu, 6 Februari 2019. Ada tiga poin yang disepakati dalam rapat tersebut. Pertama, PBNU meminta buku tersebut ditarik dari peredaran dan dihentikan pencetakannya. Kedua, meminta materi buku tersebut direvisi. Ketiga, meminta dilakukan mitigasi untuk mencegah penulisan buku yang tak sesuai fakta dan mendiskreditkan NU. Tiga poin tersebut kemudian dipenuhi Kemendikbud.