TEMPO.CO, Jakarta - Pendamping dan kuasa hukum mahasiswi Universitas Gadjah Mada atau UGM yang diduga mengalami pelecehan seksual, Agni (bukan nama sebenarnya) keberatan dengan penyebutan damai dalam kesepakatan yang terjadi di UGM, seperti yang diberitakan sejumlah media massa.
Baca juga: Polisi Akan Minta Keterangan Mahasiswi UGM Korban Pemerkosaan
Agni dan HS (terduga pelaku pelecehan seksual) sepakat menyelesaikan kasus itu secara non-litigasi. Mereka menandatangani kesepakatan pada Senin, 4 Februari 2019. Kesepakatan itu juga ditandatangani Rektor UGM Panut Mulyono. Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto, Dekan Teknik UGM Nizam, ayah HS, serta pengacara Agni, Sukiratnasari hadir dalam pertemuan itu.
Pendamping dan kuasa hukum berpandangan penyebutan damai di sejumlah media massa melemahkan perjuangan Agni dalam mendapatkan keadilan dari UGM. “Diksi damai menegasikan tahapan perjuangan Agni mendapatkan keadilan selama hampir satu setengah tahun. Seolah tampak tidak membuahkan hasil,” kata Direktur Rifka Annisa, Suharti dalam jumpa pers di kantor Rifka Annisa, Rabu, 6 Februari 2019.
Rifka Annisa merupakan organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Tim Rifka Annisa fokus pada pemulihan kondisi psikologis dan menciptakan rasa aman untuk Agni.
Kuasa hukum Agni, Sukiratnasari meminta publik tidak menyederhanakan kesepakatan itu dengan menyebutnya sebagai langkah damai atau selesai begitu saja setelah kesepakatan terjadi. Sebab, selepas kesepakatan itu ada hal-hal yang wajib dipenuhi HS, yakni konseling untuk memastikan HS tidak mengulangi perbuatannya lagi.
UGM juga punya kewajiban menjamin hak-hak Agni sebagai penyintas. Beberapa kesepakatannya adalah UGM wajib memberikan dukungan dana untuk penyelesaian studi setara dengan komponen beasiswa BIDIK MISI (UKT dan biaya hidup) kepada Agni. Kesepakatan juga bicara perbaikan sistem penanganan kasus kekerasan seksual agar menjadi lebih jelas.
Untuk menempuh jalur non-litigasi lewat penandatangan kesepakatan menurut Sukiratnasari prosesnya tidak mudah. Kesepakatan itu diambil guna meminimalisasi risiko terhadap Agni. “Kondisi psikis Agni menjadi pertimbangan kami,” kata Sukiratnasari.
Risiko yang dimaksud di antaranya potensi kriminalisasi setelah kasusnya dilaporkan secara hukum ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM Arif Nurcahyo ke Polda DIY, pada 9 Desember 2018. Semula, Agni tidak berkeinginan melaporkan kasusnya kepada polisi. Dia hanya ingin UGM memberikan sanksi etik kepada HS dengan dikeluarkan dari kampus.
Baca juga: Cerita Pendamping Mahasiswi Korban Kekerasan Seksual di UGM
Laporan ke polisi itu tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas. Penyelidikan oleh Polda Maluku terhadap Agni pada 19 November 2018 selama 12 jam membuat Agni mengalami depresi. Penanganan kasus hukum semakin melemahkan posisi Agni, mulai dari berita acara pemeriksaan Agni, permintaan Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap Agni. Kuasa hukum menolak permintaan visum et repertum karena bekas luka fisik sudah hilang karena kejadian yang sudah berlangsung lama.
Sebelumnya, Rektor UGM, Panut Mulyono menyebut UGM mendengarkan keinginan HS dan Agni. Panut menegaskan sangat berhati-hati karena perdamaian itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena sangat sensitif. “Tidak ada paksaan. Tidak ada rekayasa,” kata Panut.
Panut mengatakan HS mengaku menyesal dan bersalah atas peristiwa tersebut. Selain itu, mahasiswa itu juga memohon maaf atas perkara terjadi pada bulan Juli 2017. “Bahwa saudara HS dan AN serta UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut.
Dugaan kekerasan seksual yang menimpa Agni mencuat ke publik setelah adanya tulisan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Tulisan itu mendapat perhatian Rektor UGM. UGM kemudian membentuk tim investigasi dan tim etik untuk menangani kasus tersebut.