TEMPO.CO, Jakarta - Cornelis Lay dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada atau UGM, Rabu, 6 Februari 2019. Dalam pidatonya yang berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual : Konvergensi Kekuasaan san Kemanusiaan, Cornelis menyinggung soal banyaknya pejabat yang gagap dan kemaruk atau serakah saat menempati jabatan tinggi.
“Begitu banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir dengan perilaku membelakangi akal sehat, menampakkan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat,” kata Cornelis Lay saat berpidato pada pengukuhan Guru Besar di Balai Senat UGM, Rabu, 6 Februari 2019.
Ia masih menyinggung banyak pejabat begitu mudah tersinggung saat diundang dan tidak menempati tempat duduk yang dianggap mewakili derajatnya. Ada juga yang bingung mengatur penampilan. Ada yang perlu mendeklarasikan kehadiran secara rutin di jalanan dengan pengawalan dan suara nguing-nguing voorijder. Bahkan ada yang menjaga jarak dengan sahabat masa lalu dengan protokoler yang panjang.
“Ada yang mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaan dengan kawin lagi atau memiliki ‘peliharaan’ dan masih banyak perangai lainnya,” kata Cornelis.
Pada fase lain, para pelaku politik yang sudah menempati jabatan tinggi gagal melewati jebakan. Yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya, bertukar wajah menjadi institusi dan jabatan partisan. Bahkan tidak jarang merosot menjadi properti keluarga dan individual pemegang kekuasaan.
“Saya menyaksikan cukup banyak pelaku politik yang gugur di fase ini,” kata Cornelis Lay.
Pengukuhan Cornelis Lay sebagai Guru Besar ini dihadiri beberapa menteri kabinet kerja. Mereka yang datang antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar juga ikut hadir. Beberapa politikus PDIP seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga hadir. Cornelis Lay selama ini dikenal sebagai salah satu penasehat politik di PDIP.
Menurut dia, ilmu politik dan pemerintah kini membeku di satu titik waktu dengan orde baru (Orba) sebagai simpul referensi utamanya. Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi-terminologi yang diperkenalkan oleh Geertz (1963) yang membuatnya kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan.
“Akibatnya, ilmu-ilmu sosial terutama ilmu politik dan pemerintahan semakin kehilangan kredibilitas dan kapasitas obyektif untuk menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas, mendalam dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat. Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita kecil yang memberikan penerangan,” kata dia.