TEMPO.CO, Jakarta - Ucapan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang menyebut propaganda Rusia menuai polemik. Istilah tersebut, menurut mantan Gubernur DKI Jakarta ini, mengacu pada cara-cara berpolitik yang dilakukan dengan menyampaikan berita bohong, fitnah, serta dusta.
Baca: Jokowi Sebut Kutip Propaganda Rusia dari Think Tank Asal Amerika
"Cara-cara berpolitik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar, lalu minta maaf. Akan tetapi, besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu, lalu minta maaf lagi," kata Jokowi.
Jokowi menyampaikan hal tersebut saat menghadiri kegiatan deklarasi Forum Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu pekan lalu, 2 Januari 2019. Setelah diberitakan berbagai media, banyak pihak menyayangkan ungkapan istilah propaganda Rusia tersebut.
Berikut beberapa komentar pro dan kontra soal istilah propaganda Rusia yang dilontarkan Jokowi:
1. Duta Besar Rusia untuk Indonesia Keberatan
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Verobieva, menyatakan keberatannya dengan penggunaan istilah propaganda Rusia yang dilontarkan Jokowi. Dia mengatakan istilah tersebut tak berdasarkan pada realitas.
"Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," kata Lyudmila lewat keterangannya, Senin, 4 Februari 2019.
Lyudmila menjelaskan, istilah “Propaganda Rusia” direkayasa di Amerika Serikat pada tahun 2016. Istilah itu, kata dia, direkayasa dalam rangka kampanye pemilu presiden negeri Abang Sam tersebut.
Atase Pers Kedubes Rusia di Indonesia, Denis Tetiushin mengatakan, pernyataan itu menegaskan sikap Kedutaan Besar Rusia yang tak ingin istilah Propaganda Rusia ini digunakan dalam kontestasi politik di Indonesia. "Kami tidak ingin istilah ini dipakai, karena istilah Propaganda Rusia adalah fitnah murni yg diciptakan oleh Amerika Serikat," ujar Denis kepada Tempo, Senin, 4 Februari 2019.