3. Memaksakan Kehendak dan Mendiskriminasi
Salah satu beleid di dalam RUU Permusikan ini adalah adanya uji kompetensi dan sertifikasi bagi musisi. Komposer, Mondo Gascoro, mengatakan beberapa negara memang menerapkan uji kompetensi. “Namun, lembaga sertifikasi tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan," kata dia.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi
autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji
kompetensi.
4. Memuat Informasi Umum dan Mengatur Hal yang Tak Perlu
Beberapa Pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan
siapa yang mengatur. Misalnya, Pasal 11 dan 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua Pasal ini tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah Pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-undang.
Demikian pula dengan Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia. Wilayah karya musik merupakan karya seni. “Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur” kata musisi, Puti Chitara.
Simak juga: RUU Permusikan Dinilai Berpotensi Membungkam Suara Musisi
Di dalam RUU Permusikan, Koalisi pun menemukan banyak pasal yang tak jelas. “Dengan kata lain, banyaknya pasal yang mengatur hal yang tidak perlu diatur ini menunjukkan bahwa RUU Permusikan ini tidak perlu,” kata Arian dari band Seringai.