TEMPO.CO, Jakarta - Asisten Deputi Hak Perempuan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPS), Destri Handayani mengatakan, modus yang paling sering muncul dalam tindak pidana perdagangan orang adalah eksploitasi seksual atau prostitusi.
"Berdasarkan pemindaian pemberitaan media selama 2018 yang dilakukan Kementerian, modus yang paling banyak terjadi adalah eksploitasi seksual," kata Destri dalam bincang media yang diadakan di Jakarta, Jumat, 01/2.
Destri mengatakan umumnya korban masih usia anak. Awal 2019 saja sudah terdata sekitar 20 orang korban eksploitasi seksual, sebagian besar usia pelajar. Tidak jarang, pelaku eksploitasi seksual sebelumnya juga merupakan korban. Pengalamannya menjadi korban eksploitasi seksual mendorongnya menjadi pelaku.
"Ada juga yang dulu menjadi korban kemudian menjadi perekrut, sehingga bukan menjadi pelaku utama," kata dia.
Namun, ada pula perekrut yang sebelumnya sama sekali tidak pernah menjadi korban. Dia merekrut teman-temannya karena ada permintaan dan faktor ekonomi. "Hati-hati juga dengan modus 'teman jual teman'. Barangkali dia tidak sadar tindakannya itu termasuk tindak pidana perdagangan orang yang ancaman hukumannya berat.”
Destri mengatakan terdapat berbagai modus tindak pidana perdagangan orang. Selain eksploitasi seksual, ada juga modus perburuhan migran ilegal dan pekerja rumah tangga.
Kemudian, adopsi anak palsu, pengantin pesanan, eksploitasi untuk menjadi pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, duta seni atau budaya dan pelatihan kerja.
Destri menjadi salah satu narasumber dalam bincang media bertema "Lindungi Perempuan dan Anak dari Jaringan Prostitusi Online" yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain Destri, narasumber lain adalah Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi KPPPA, Dermawan dan pimpinan Ombudsman Republik Indonesia Ninik Rahayu.
ANTARA