TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Faisol Riza, membeberkan alasannya baru menyurati Ketua DPR Bambang Soesatyo ihwal penculikan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998. Riza tak menampik surat yang baru dilayangkan itu berpeluang menuai anggapan adanya tujuan politik dari sejumlah pihak.
Baca: Faisol Riza Minta DPR Ambil Sikap Soal Kasus Penghilangan Orang
Riza menuturkan, niat mengirim surat itu telah ada sejak dirinya baru dilantik menjadi anggota DPR sekitar 10 bulan lalu. Eks aktivis yang turut menjadi korban penculikan pada 1997/1998 ini mengatakan merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap rekan-rekannya yang masih hilang dan keluarga mereka.
"Itu karena tanggung jawab moral saya terhadap keluarga korban yang selalu bertanya kepada saya, ke mana anak-anaknya kok sampai hari ini belum kembali," kata Riza kepada Tempo, Jumat, 25 Januari 2019.
Kendati sudah berniat sejak lama, Riza mengaku perlu mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menulis surat itu. Dia mengatakan perasaan terancam dan terteror yang dia rasakan saat diculik masih mengikutinya sampai sekarang.
Selain itu, Riza berujar dia juga menimbang risiko yang mungkin menimpa keluarganya apabila dia mengungkit masalah penghilangan paksa aktivis yang termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
Riza menjadi satu dari sejumlah korban penculikan oleh Tim Mawar yang dipimpin Prabowo Subianto--ketika itu Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus--pada 1998. Ada sembilan aktivis, termasuk Riza, yang kemudian dilepaskan.
Mereka ialah Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdiyanto, Mugiyanto, Andi Arief, dan Haryanto Taslam (almarhum). Sedangkan, sebanyak 13 aktivis masih hilang hingga sekarang. Para aktivis yang hilang yaitu Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.
Atas hilangnya 13 orang ini, Panitia Khusus DPR terkait penghilangan paksa 1997/1998 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi yang disepakati secara aklamasi pada sidang paripurna 28 September 2008 itu di antaranya meminta agar pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc dan mencari keberadaan para korban.
Namun, rekomendasi-rekomendasi ini tak kunjung dilakukan. Hal inilah yang kemudian disinggung Riza dalam suratnya kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo. Riza meminta agar Ketua DPR menagih pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi itu kepada Presiden. Politikus PKB ini juga mengirim surat serupa kepada Presiden Jokowi.
"Saya tidak menanyakan kepada pihak lain, tetapi kepada Presiden, karena memang Presiden punya tanggung jawab," kata Riza.
Menurut Riza, orang-orang yang menuduhnya politis justru tak mengerti trauma yang dia rasakan sebagai korban. Meski penculikan itu sudah lewat 20 tahun lalu, Riza mengaku masih khawatir diri dan keluarganya terancam. Riza pun mengaku lega selepas menulis dan mengirimkan surat itu kepada Bamsoet dan Jokowi.
Simak juga: Faisol Tak Peduli Surat Penuntasan Kasus HAM Dikaitkan Pilpres
"Tapi berhasil membuat dan mengirimkan surat itu kepada Bamsoet dan Jokowi, itu saya sudah merasa mengangkat sebagian besar beban saya, teror dan ketakutan saya di masa lalu dengan lumayan," kata dia.