TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menyesalkan keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada I Nyoman Susrama, pembunuh wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Baca: AJI: Soal Prostitusi Online, Media Harus Patuhi Etika Jurnalistik
Ketua AJI Denpasar, Nandhang R. Astika, mengatakan keputusan ini menunjukkan langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers. "Untuk itu AJI Denpasar menuntut agar pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 Januari 2019.
Nandhang menjelaskan pengungkapan kasus yang terjadi pada 2010 ini menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Alasannya karena sebelumnya tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia.
Menurut Nandhang, vonis seumur hidup bagi Susrama di Pengadilan Negeri Denpasar saat itu menjadi angin segar bagi kemerdekaan pers dan penuntasan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang masih banyak belum diungkap.
Ia bercerita, AJI Denpasar bersama sejumlah advokat, dan aktivis yang dari awal ikut mengawal Polda Bali mengetahui susahnya mengungkap kasus pembunuhan yang terjadi pada Februari 2009. "Perlu waktu berbulan-bulan dan energi yang berlebih hingga kasusnya dapat diungkap oleh Polda Bali," tuturnya.
Nandhang berujar pemberian grasi dari seumur hidup menjadi 20 tahun ini bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers. Ia beralasan setelah 20 tahun Susrama bisa menerima remisi dan menerima pembebasan bersyarat.
"Karena itu AJI Denpasar sangat menyayangkan dan menyesalkan pemberian grasi tersebut," kata dia.
Meski Presiden Jokowi memiliki kewenangan untuk memberikan grasi sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 dan perubahannya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010, kata Nandhang, seharusnya ada catatan maupun koreksi baik dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tim ahli hukum presiden sebelum grasi itu diberikan.