TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari terakhir publik menyorot rencana pembebasan narapidana tindak pidana terorisme Abu Bakar Baasyir. Rencana pembebasan ini mencuat setelah Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi setuju untuk membebaskan Baasyir dengan mempertimbangkan alasan kemanusiaan, kesehatan dan tanpa pemenuhan atas syarat pengajuan bebas bersyarat.
Baca: Wiranto: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Masih Dipertimbangkan
"Saya melaporkan kepada Pak Presiden saat persiapan debat di Djakarta Teater," kata Yusril yang juga menjadi penasehat hukum Jokowi tersebut pada Sabtu, 19 Januari 2019.
Meski demikian, hal ini menimbulkan polemik lantaran Baasyir tak mau menandatangani ikrar setia kepada Indonesia dan Pancasila. Padahal, ikrar ini merupakan salah satu syarat admnistratif jika Baasyir ingin mendapatkan kesempatan bebas bersyarat seperti tercantum dalam Pasal 82, 83 dan 84 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, jika tidak ada landasan hukum dalam rencana pembebasan Baasyir bisa mengacaukan sistem hukum Indonesia. Sebab keputusan Jokowi tersebut tak memiliki landasan hukum yang jelas. "Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi,” kata Fickar saat dihubungi, Ahad, 20 Januari 2019.
Baca: Tarik Ulur Rencana Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir
Menurut Fickar langkah Jokowi membebaskan Baasyir tidak menutup kemungkinan menimbulkan kesan adanya tujuan politik. Ia menyarankan Presiden Jokowi membuat landasan hukum berupa Perpu, Perpres atau Peraturan Menkumham sebagai dasar tindakannya agar tidak menimbulkan kesan semaunya.
Merujuk pada peraturan, selain pengajuan bebas bersyarat narapidana terorisme juga bisa mengajukan grasi kepada presiden. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi dan Putusan MK Nomor 107/PUU-XII/2015. Grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Adapun grasi hanya bisa diajukan satu kali. Dengan mengajukan grasi maka seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden telah mengaku bersalah dan memohon pengampunan kepada presiden. Kendati begitu, tindak pidana pelaku tidak hilang namun hanya mengampuni atau menghilangkan hukuman penjara.
Baca: Penjelasan Yusril Soal Pembebasan Abu Bakar Baasyir Dipermudah
Meski begitu, Baasyir agaknya tak akan menempuh langkah grasi. Hal ini disampaikan oleh Tim Pengacara Muslim (TPM) yang mengawal kasus Baasyir. "Ustadz tidak pernah mengajukan grasi," kata Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM), Mahendradatta pada Jumat, 18 Januari 2019.
Menurut undang-undang, langkah terakhir yang bisa diambil Jokowi jika ingin memberikan kebebasan kepada Abu Bakar Baasyir adalah dengan memberikan amnesti dan atau abolisi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Darurat No 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa Presiden bisa memberi amnesti dan abolisi setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman atau yang saat ini dikenal dengan nama Menteri Hukum dan HAM.
Berdasarkan Pasal 4 dalam beleid itu, dengan memberikan amnesti maka semua akibat hukum pidana terhadap seseorang tersebut bisa dihapuskan. Adapun jika memberikan abolisi maka penuntukan terhadap orang atau orang-orang itu ditiadakan.
Artinya, pemberian amnesti tidak mensyaratkan adanya permohonan seperti dalam hal aturan bebas bersyarat maupun grasi. Dengan kata lain, orang tersebut tidak harus mengakui keselahananya termasuk tindak pidana yang dikenakan kepada dirinya.
DIAS PRASONGKO | AHMAD RAFIQ | TAUFIQ SIDDIQ