TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa buah foto berpigura segera menarik perhatian siapa pun yang memasuki ruang tamu rumah di kawasan Joglo, Jakarta Selatan itu. Foto tersebut berada di dalam lemari kaca yang terletak di arah jam 1 dari pintu utama, terpajang bersama sejumlah piagam yang dibingkai, serta sebuah patung Maria memangku tubuh Isa yang terkulai.
Maria Catarina Sumarsih, 66 tahun, mengganti gaun rumahan bermotif batik warna biru yang dia kenakan saat menyambut Tempo pada Senin, 14/1, siang lalu. Saat sesi wawancara dimulai, dia sudah mengenakan blus berwarna hitam bergaris-garis putih, dipadu dengan rok hitam.
Selama dua jam lebih, Sumarsih membagi kisahnya menuntut keadilan bagi anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Wawan yang merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta meninggal akibat ditembak dengan peluru tajam yang menembus jantung dan paru-paru kirinya.Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sahabat Munir melakukan aksi Kamisan dalam rangka memperingati 12 tahun kematian aktivis HAM Munir Said Thalib di alun-alun Kota Batu, Jawa Timur, 8 September 2016. Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir dan kasus pelanggaran HAM lainnya. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Saat itu, Wawan sedang bertugas menjadi tenaga relawan kemanusiaan. Namun Wawan malah tertembak saat hendak menolong rekannya yang juga terluka tembak di halaman kampus Atma Jaya Jakarta.
Tepat pada hari ini 12 tahun silam, Sumarsih bersama banyak orang lainnya memulai aksi diam di seberang Istana Negara. Mereka mengenakan busana hitam dan membuka payung hitam.
Menurut dia, kini aksi itu dikenal dengan sejumlah nama, di antaranya aksi diam, aksi payung hitam, dan aksi Kamisan--merujuk pada hari pelaksanaan aksi yang digelar setiap hari Kamis.
Sumarsih mengaku tak pernah menyangka Aksi Kamisan akan bertahan begitu lama, bahkan sampai 12 tahun. Dalam pelbagai kesempatan, ujarnya, dia merasa ingin berhenti karena protesnya tak kunjung direspons.
Meski begitu, Sumarsih mengaku bersyukur menyaksikan Aksi Kamisan saat ini. Dari aksi yang mulanya diikuti korban dan keluarga korban serta volunteer, aksi ini kini menjadi ruang publik bagi banyak orang.
Pelbagai isu hak asasi manusia disuarakan lewat medium Aksi Kamisan, mulai dari korupsi, isu lingkungan, pekerja migran, kriminalisasi aktivis, dan sebagainya. Menurut Sumarsih, Aksi Kamisan juga menjadi tempat bagi anak-anak muda yang ingin belajar tentang hak asasi manusia.
Sumarsih mencatat, Aksi Kamisan kini ada di lebih dari 20 kota di Indonesia. Beberapa di antaranya Yogyakarta, Ternate, Surabaya, Malang, Bandung, Semarang, Solo, Ambon, dan sebagainya.
Sumarsih menyadari barangkali dia dan keluarganya tak akan menikmati apa yang diperjuangkan lewat Aksi Kamisan. Namun, dia mengaku senang ketika anak-anak muda berdatangan ke Aksi Kamisan dan terinspirasi mengadakan gerakan serupa di kota-kota lain.
"Ketika perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM itu sulit, ya nanti akan ada yang melanjutkan, dan saya percaya harus menang, harus berhasil," ujarnya. Sumarsih dam para peserta aksi akan tetap mengenakan busana hitam.
"Bagi orang kebanyakan hitam itu lambang dukacita. Bagi saya bukan. Hitam itu lambang keteguhan di dalam cinta," kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI