Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Meruwat Kembali Pertanian yang Sekarat

image-gnews
Iklan
Krisis kedelai yang meledak saat ini sebetulnya hanya episode awal dari potensi bom krisis pangan yang kemungkinan besar meletus di negeri ini. Krisis pangan itu benar-benar akan meletus apabila gelombang sejarah yang saat ini berlangsung tidak dibelokkan. Lebih dari dua dekade telah terjadi peminggiran (undervalue) sektor pertanian secara sistematis, bahkan dikampanyekan untuk meninggalkan pertanian guna melompat ke jenjang industrialisasi. Itu semua telah menempatkan petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian dalam kondisi sekarat. Di luar stagnasi produksi dan penurunan produktivitas, sektor pertanian telah mengalami proses pembusukan dan kematian akut. Hampir di semua level kebijakan, yang terjadi justru destruksi sistemis di semua lini, baik di on farm, off farm, maupun industri dan jasa pendukungnya oleh sektor yang langsung ditopangnya. Maka terjadi paradoks yang tak masuk akal. Program revitalisasi, peningkatan daya saing, serta peningkatan produksi petani dan kesejahteraan petani selalu didengungkan, tapi pada saat yang sama, degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan serta buruknya implementasi tata ruang akibat intervensi pemodal kuat/pejabat dengan argumen sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi. Daya tampung dan distribusi daerah aliran sungai semakin memburuk karena infrastruktur irigasi tidak pernah dibenahi. Padahal tanpa air, pertanian sekarat. Masih berlanjutnya konversi lahan-lahan pertanian produktif membuat investasi irigasi, jalan, dan infrastruktur muspro. Akhirnya, investasi dan teknologi, seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu menggenjot produksi secara signifikan. Ditambah degradasi di sistem produksi, seperti fragmentasi produksi dan distribusi input pertanian, nihilnya dukungan bank, dicabutnya subsidi, tidak fokusnya perencanaan sumber daya manusia pertanian, liberalisasi kebablasan, serta tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani membuat berbagai upaya sia-sia. Desentralisasi dan otonomi daerah membuat Departemen Pertanian tidak selincah dulu karena tak punya "tangan dan kaki" di daerah. Pertanian betul-betul sakaratulmaut. Salah satu hasilnya, ketahanan pangan Indonesia yang rendah dan mengimpor 5-10 persen dari total kebutuhan pangan. India, Thailand, dan Vietnam termasuk negara dengan ketahanan pangan tinggi, terutama dari beras dan gandum. Sebetulnya, ketahanan pangan kita lebih baik daripada Malaysia dan Filipina yang masing-masing mengimpor 35 persen dan 16-20 persen dari total kebutuhan pangan. Namun, pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi (1,7 persen per tahun) dengan harapan hidup semakin baik (68 tahun), sedangkan pertumbuhan produksi pangan utama stagnan. Pada 2035, penduduk Indonesia mencapai 400 juta jiwa. Bisakah pemenuhan kebutuhan pangan itu diserahkan kepada petani miskin? Petani tidak hanya dihadapkan pada kenyataan kepemilikan lahan yang kian sempit, seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak dunia, mereka menghadapi kenyataan kian lemahnya akses terhadap input, biaya transaksi yang terus melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani. Akhirnya, ekonomi petani di tubir jurang. Misalnya, lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian (Patanas, 2004), seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Sumbangan usaha tani dalam struktur pendapatan rumah tangga petani telah merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an, tinggal 13,6 persen saat ini. Dalam kondisi seperti itu, keputusan impor, meski rasional, selalu memantik kontroversi. Sebab, ketahanan ekonomi petani pasti ambrol. Akhirnya, pertanian identik dengan kemiskinan, kegureman, dan udik, sehingga tidak menarik tenaga terdidik menekuninya. Masyarakat dan komunitas petani terancam lenyap. Misalnya, kajian pedesaan kurun 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui fakta getir: langkanya tenaga kerja muda di pedesaan Jawa. Yang tersisa hanya pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat responsnya terhadap perubahan serta teknologi. Jumlah petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen, 30-49 tahun 13 persen, dan sisanya, 12 persen, berusia di bawah 30 tahun. Diperkirakan tak lama lagi akan terjadi krisis tenaga kerja pertanian.Untuk menjamin kesanggupan memberi makan, mengikis busung lapar, gizi buruk, dan berbagai manifestasi kelaparan lainnya, salah satu caranya harus meningkatkan public spending di sektor pertanian dan pedesaan, terutama untuk kebutuhan dasar, seperti infrastruktur jalan, irigasi, pasar, lumbung pangan, pendidikan, dan kesehatan. Tujuan public spending itu, pertama-tama, harus untuk memperkuat ketahanan ekonomi petani. Ini juga bisa ditempuh dengan memperluas akses petani atas sumber daya serta pasar, modal, dan teknologi. Dari sisi petani, segi tiga tanah, modal, serta ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan urat nadi kemajuan pertanian. Lalu mereformasi institusi pasar, terutama di pedesaan, agar bisa diakses petani. Pendirian bank pertanian dan reforma agraria jadi keniscayaan. Kata kuncinya adalah keberpihakan dan komitmen. Soal anggaran, harus diakui, pemerintah memiliki keterbatasan. Tapi bukan berarti tidak ada dana. Salah satu caranya, pemerintah harus merestrukturisasi anggaran belanja, dengan fokus dan penekanan untuk kepentingan petani. Tengoklah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Ekonomi mereka sebetulnya tidak lagi bergantung pada pertanian, tapi tidak serta-merta pertanian ditinggalkan. Contohnya, subsidi yang diberikan pada seekor sapi di UE sebesar US$ 2,5 per hari. Angka ini lebih besar daripada rata-rata pendapatan warga miskin di negara-negara berkembang. Sekitar 75 persen penduduk Sub-Sahara-Afrika berpendapatan kurang dari US$ 2 per hari. Petani Jepang diproteksi dengan tarif yang tinggi, bahkan di atas 400 persen. Mereka mengkampanyekan liberalisasi, tapi petani tetap diproteksi dan disubsidi.Atau tidak perlu jauh-jauh, lihatlah Korea Selatan. Negara di Asia yang 30 tahun lalu tak terlalu berbeda keadaan ekonominya dengan kita, pada 2002 memberi dukungan pada pertaniannya hampir 7 persen dari gross domestic product (GDP). Kemajuan industri dan sektor ekonomi lainnya di Korea Selatan tidak mengorbankan pertanian. Pertanian tidak dipaksa memikul beban industrialisasi, dan saat industrialisasi tercapai, serta-merta pertanian ditinggalkan, seperti di Indonesia. Nilai 7 persen dari GDP itu sama dengan US$ 33,4 miliar (Rp 314 triliun). Berapa anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Departemen Pertanian kita? Pada 2008 ini nilainya Rp 8,7 triliun. Di Indonesia keadaan memang sering terbalik. Pertanian sering diabaikan. Hak petani sering dilanggar. Mengapa itu terjadi? Sebab, kita belum memahami dan belum secara riil menangani pertanian sebagaimana mestinya. Akibatnya jelas, kehidupan petani dari hari ke hari semakin memburuk, semakin miskin dan semakin tertinggal. Jelas ini akan berdampak luas pada kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan. Salah satunya adalah ketergantungan pada aneka pangan impor yang tinggi. Ini terjadi karena "jantung" negara tidak dipelihara, tidak dijaga, dan dibuat merana. Saatnya diakhiri. KHUDORI, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

21 November 2023

Salah seorang pedagang menunjukan jenis beras sentra ramos di Pasar Tanah Merah Mutiara Gading Timur, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 19 Mei 2015. Beras yang berasal dari Karawang dengan merk sentra ramos diduga merupakan beras bercampur bahan sintetis. ANTARA FOTO
Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

Mengonsumsi nasi atau beras merah saat ini dianggap menjadi sebuah solusi saat menjalani gaya hidup sehat.


Seragam Khusus Koruptor

13 Agustus 2008

Seragam Khusus Koruptor

Ide Komisi Pemberantasan Korupsi tentang seragam khusus dan memborgol koruptor baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan masyarakat.


Presiden Kaum Muda

1 Agustus 2008

Presiden Kaum Muda

Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua.


SOS Sektor Ketenagalistrikan

16 Juli 2008

SOS Sektor Ketenagalistrikan

Berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah, selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenagalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal, justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri.


Membersihkan Korupsi Kejaksaan

2 Juli 2008

Membersihkan Korupsi Kejaksaan

Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa.


Urgensi Hak Angket BBM

27 Juni 2008

Urgensi Hak Angket BBM

Sesuai dengan Pasal 20-A UUD 1945 ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.


Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

18 Juni 2008

Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih dewasa? Sebagai Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar yang baru (menggantikan Bapak Jakob Oetama), saya harus banyak bertemu dengan tokoh pers dan keliling daerah se-Indonesia.


Mengkorupsi Bea dan Cukai

7 Juni 2008

Mengkorupsi Bea dan Cukai

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008.


Menggali Jejak Kebangkitan

21 Mei 2008

Menggali Jejak Kebangkitan

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan.


Gagalnya Manajemen Perparkiran

9 Mei 2008

Gagalnya Manajemen Perparkiran

Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil.