TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtabel (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia di zaman Presiden Joko Widodo atau Jokowi lebih buruk dibandingkan zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca: Mengintip Visi Misi Jokowi Bidang HAM di Debat Capres 17 Januari
"Kami lihat kan ada lima prinsip. Di empat prinsip awal ada tren membaik di zaman Jokowi, tapi di isu HAM ada penurunan yang cukup tajam," kata Erwin dalam paparannya di Tjikini Lima, Jakarta, Ahad, 13 Januari 2019.
Erwin menjelaskan, prinsip dan indikator negara hukum Indonesia ada lima, yaitu ketaatan pemerintah terhadap hukum, legalitas formal, kekuasaan kehakiman yang merdeka, akses terhadap keadilan, dan hak asasi manusia.
Tren indeks negara hukum Indonesia pada 2012-2017, kata Erwin, terus meningkat. Pada 2012, indeks negara hukum berada di angka 4,56; selanjutnya berturut-turut pada 2013 (5,12); 2014 (5,18); 2015 (5,32); 2016 (5,31); dan 2017 (5,85).
Dalam survei yang dilakukan ILR, tren prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum pada periode 2012-2017 meningkat, yaitu 4,77 pada 2012 dan 5,97 pada 2017.
Adapun pada tren legalitas formal pada 2012 berada di angka 3,13 dan 6,2 pada 2017. Pada prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, tahun 2012 di angka 4,72 dan 6,64 pada 2017.
Baca: Menggunakan Sepeda, Jokowi Hadiri Cara Deklarasi Alumni UI
Tren prinsip akses terhadap keadilan juga meningkat, misalnya pada 2012 di angka 4,21 menjadi 6,32 pada 2017. Sedangkan tren prinsip hak asasi manusia terus menurun pada periode 2012-2017.
Pada 2012, tren prinsip ham di angka 5,74. Kemudian menurun menjadi 5,4 (2013), 4,15 (2014), 3,82 (2015). Angkanya sempat naik pada 2016 dan 2017, yaitu masing-masing 4,25 dan 4,51.
Dalam kesimpulannya, Erwin mengatakan ada perbaikan terhadap ketaatan pemerintah dalam mematuhi hukum, menjamin independensi peradilan, dan akses terhadap keadilan di masa Jokowi. "Meski demikian, dalam soal penegakan HAM ada problem serius," ujarnya.
Survei yang dilakukan ILR pada 2012 menggunakan metodologi publik survei. ILR bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia dengan menyusun 50 pertanyaan berdasarkan 5 prinsip negara hukum yang dikembangkan.
Adapun pada 2013-2017, ILR menggunakan dua metodologi, yaitu survei ekspert dan dokumen. Survei ekspert dilakukan di 20 provinsi di mana setiap provinsi ada 6 ekspert untuk mengisi 10 kuesioner. Ekspert dipilih berdasarkan standard yang disusun dari bermacam profesi, seperti akademisi, aktivis, dan praktisi hukum.