TEMPO.CO, Yogyakarta - Tim kuasa hukum dan pendamping Agni mendorong polisi menuntaskan proses penyidikan agar kasus kekerasan seksual terhadap kliennya dapat diproses di pengadilan. Harapannya, hak penyintas untuk mendapatkan keadilan dapat dipenuhi.
“Biar tidak menjadi preseden buruk bagi kasus-kasus kekerasan seksual lainnya,” kata Koordinator Kuasa Hukum Agni, Catur Udi Handayani, dalam konferensi pers di ruang pertemuan LSM Rifka Annisa, Kamis, 10 Januari 2019. Catur menegaskan hal itu mengingat dalam kasus Agni ini banyak komentar yang mengatakan dalam kasus tersebut tidak ada kekerasan dan ancaman.
Berita terkait:
Jalan Panjang Agni, Penyintas Kasus Kekerasan Seksual
Kasus Agni UGM Ditingkatkan Jadi Penyidikan
Hardika Membantah Tudingan Pencabulan Terhadap Agni UGM
Agni, adalah sebutan bagi seorang mahasiswi yang mengalami kekerasan seksual antara 31 Juni-1 Juli 2017 lalu, saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) Univeritas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta di Pulau Seram, Maluku. Terduga pelakunya adalah HS, sesama mahasiswa UGM.
Catur Udi menegaskan kekerasan tidak melulu berupa kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan psikis. Sementara yang dialami Agni adalah kekerasan fisik berupa kekerasan seksual, dan kekerasan psikis serta dilakukan tanpa persetujuan korban. “Bayangkan kekerasan seksual dilakukan ketika penyintas masih tidur. Syok, kaget, tak tahu yang harus dilakukan, tak berdaya,” kata Carur Udi.
Kasus ini menjadi urusan polisi setelah dilaporkan Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM Arif Nurcahyo ke Polda DIY, pada 9 Desember 2018. Semula, kata Catur Udi, Agni tidak berkeinginan melaporkan kasusnya kepada polisi. Dia hanya ingin UGM memberikan sanksi etik kepada HS dengan dikeluarkan dari kampus.
Rektor UGM Panut menyatakan laporan yang dilakukan Arif itu tidak atas nama UGM, tapi perseorangan. “UGM mengadukan ke polisi, tapi tidak melaporkan ke polisi,” kata Panut saat dihubungi Tempo melalui telepon seluler, Kamis, 10 Januari 2019.
Agni sudah mendapat surat panggilan untuk memberikan keterangan sebagai saksi korban pada 18 Desember 2018. Sejak kasus ini bergulir di kepolisian, Catur Udi mengkliam, Agni tidak mendapat pendampingan hukum dari UGM. Agni menguasakan proses hukum kepada tim gabungan yang dipimpin Catur Udi pada 15 Desember 2018.
Kini, meskipun penyelesaian melalui jalur hukum bukan pilihan Agni, tetapi penyintaas, pendamping, dan kuasa hukumnya akan menghadapi proses hukum hingga tuntas. “Seharusnya kasus ini nanti tak tak dihentikan penyidikannya (SP3). Karena akan menjadi preseden buruk kasus kekerasan seksual lainnya,” kata Catur Udi.
Direktur Rifka Annisa Suharti, selaku pendamping Agni, juga ingin memastikan proses hukum tak semata berfokus pada penghukuman pelaku semata. Melainkan juga pemulihan hak-hak korban. “Kami perjuangkan rasa keadilan bagi korban. Sebagai institusi yang bertanggung jawab pada kekerasan di UGM, kampus itu harus menunjukkan komitmennya,” kata Suharti.
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta)