TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Hery Murwono, mengatakan polisi masih berupaya mengejar kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Namun pengejaran terhadap gerombolan teroris yang dipimpin Ali Kalora itu belum membuahkan hasil. "Kami terkendala medan, seperti hutan, bukit, dan semak belukar. Selain itu, cuaca yang hujan terus-menerus," ucap Hery melalui pesan pendek kepada Tempo, Rabu, 2 Januari 2019.
Baca: 5 Fakta Kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang Tembak 2 Polisi
Kelompok Ali Kalora kembali berulah pada akhir Desember lalu. Mereka diduga membunuh dan memutilasi seorang warga Dusun Salubose, Kabupaten Parigi Moutong. Polisi berupaya mengevakuasi korban pada Senin lalu. Namun mereka diserang oleh kelompok Ali.
Dua orang polisi, yakni Brigadir Kepala Andrew Maha Putra dan Brigadir Kepala Baso, tertembak di bagian punggung dan kaki. "Mereka menembaki dari belakang gunung dan lereng gunung. Kejadian baku tembak itu terjadi selama 30 menit," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo.
Dedi menduga pembunuhan terhadap RB sengaja dilakukan untuk menciptakan keresahan dan teror dalam masyarakat. Untuk mengejar pelaku, Markas Besar Polri menerjunkan dua satuan setingkat peleton (SST) Brigade Mobil, sedangkan Poso dan Palu masing-masing menerjunkan satu SST Brigade Mobil untuk membantu Kepolisian Resor Parigi Moutong. Hasil penelusuran sementara di lokasi, polisi menyita 3 bom lontong, 1 teropong siang, 2 amunisi aktif kaliber 5,56 milimeter, dan 7 selongsong amunisi kaliber 5,56 milimeter.
Baca: 4 Pleton Brimob Buru Kelompok Mujahidin Indonesia Timur di Poso
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menduga jumlah anggota Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora bertambah setelah bencana tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. "Ada indikasi jumlahnya bertambah dari sebelumnya yang kurang dari 20 orang," kata dia lewat keterangan tertulis, Rabu, 2 Januari 2019.
Meski begitu, Abu mengatakan, kekuatan personel dan persenjataan kelompok ini masih lemah. Mereka hanya unggul dalam penguasaan medan di pegunungan. Logistik kelompok ini, kata dia, sangat bergantung pada pasokan para simpatisan di luar gunung. "Akan menjadi persoalan jika kelompok ini mendapat basis dukungan dari masyarakat sipil," katanya.
Karena keterbatasan logistik dan personel, kelompok Ali memilih taktik gerilya serta metode hit and run atau kabur setelah menyerang. Hal itulah yang dilakukan pada saat penyergapan terhadap polisi yang tengah berusaha mengevakuasi jenazah korban mutilasi pada akhir Desember lalu.
Baca: Polda: Gerilya Mujahidin Indonesia Timur di Poso Berubah
Abu menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan keamanan dengan mengirim pasukan TNI untuk memburu kelompok Ali Kalora. Sebab, tentara memiliki kemampuan lebih dibanding polisi untuk menghadapi medan pegunungan dan hutan. "Polisi tidak dididik dengan kemampuan perang gerilya hutan, jadi yang punya kapasitas untuk menghadapi kelompok seperti itu tentu TNI," ujarnya.
Pelibatan TNI perlu segera dilakukan supaya teror oleh kelompok Ali Kalora segera bisa diatasi. Sebab, operasi keamanan yang berlarut-larut dapat mengganggu kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. "Perlu keputusan politik yang tegas agar tidak berlarut-larut dan operasi Tinombala berlangsung berjilid-jilid," kata dia.
ANDITA RAHMA | MAYA AYU PUSPITASARI | AJI_NUGROHO | AGUNG S.