TEMPO.CO, Jakarta - Dialog lintas iman yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) menghasilkan lima rumusan, yang disebut dengan Risalah Jakarta. Lima risalah ini dirumuskan dari tema Kehidupan Beragama di Indonesia yang terdiri atas atas tiga sub tema pokok yakni, konservatisme, relasi agama dan negara, serta beragama di era disrupsi.
Baca juga: Wapres JK Usulkan Kemenag Buat Daftar Tunggu Haji Nasional
Risalah Jakarta ini dibacakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Pertama, isi risalah ini adalah, konservatisme sebagai karakter dasar agama, tidak bermasalah sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajarandan tradisi keagamaan. Tetapi konservatisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusifisme dan ekstremisme agama, dan menjadi alat bagi kepentingan publik.
"Eksklusifisme dan ekstremisme agama justru menjauhkan peran utama agama," tutur Mahfud dilansir dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo dari Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag, Ahad, 30 Desember 2018.
Poin kedua Risalah Jakarta menyebutkan, konservatisme yang mengarah pada eksklusifisme dan ekstremisme beragama seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan, melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan dalam politik ataupun ekonomi, formalisme hukum, politisasi agama, dan cara berkebudayaan.
"Karena itu agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan," kata dia.
Ketiga, era disrupsi. Menurut Mahfud, era disrupsi ini membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ekses era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok.
Baca juga: Masjid Terpapar Radikalisme, Kemenag Beri Penyuluhan ke Takmir
Teknologi informasi dan komunikasi, kata Mahfud, hadir sebagai media disruptif, dan menjadi pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan.
Selanjutnya, risalah ke empat, eksklusifisme dan ekstremisme beragama menjadi alasan beberapa kelompok untuk memperjuangkan ideologi agama sebagai ideologi negara. Menurut Mahfud, formalisasi agama dalam kebijakan negara juga menguat di berbagai daerah, atau dalam kebijakan yang mengatur pelayanan publik dan kewargaan. Bahkan menciptakan kegamangan atas hukum positif yang berlaku, misalnya dalam isu terkait keluarga dan perempuan.
"Relasi kuasa politis di Indonesia muncul dalam paradigma mayoritas-minoritas menjadi alasan untuk mempengaruhi kebijakan negara," ujar Mahfud.
Risalah terakhir, yakni strategi yang dirumuskan oleh para peserta dialog untuk mengatasi tantangan ini, yang dirangkum dalam lima strategi memandu umat. Strategi pertama, pemerintah diharapkan untuk mengambil langkah konkret memimpin gerakan penguatan keberagamaan yang moderat sebagai arus utama.
Kedua, pemerintah harus menghapus atau membatasi regulasi dan kebijakan yang menumbuhkan eksklusifisme dan ekstremisme beragama dan perilaku diskriminatif. Ketiga, mengembangkan strategi komunikasi berbangsa agar terhindar dari kegagapan menghadapi era disrupsi dan membangun gerakan kebudayaan untuk memperkuat akal sehat kolektif.
Keempat, pemerintah khususnya Kemenag harus memfasilitasi ruang perjumpaan antarkelompok masyarakat, dengan tujuan memperkuat nilai-nilai inklusif dan toleransi. Kelima, tokoh agama perlu lebih aktif dalam memandu umat untuk menjalankan agama dan keyakinan yang terbuka, berlandaskan nilai hakiki agama sebagai panduan spiritual dan moral.
Dialog lintas iman ini dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dihadiri oleh beberapa tokoh lintas agama dan lintas generasi, mulai dari agamawan sampai budayawan. Salah satunya Mahfud MD, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Sujiwo Tedjo, Coki Pardede, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, dan lainnya.