TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mempertanyakan maksud TNI menyita buku tentang komunisme dan PKI di salah satu toko buku di Kediri, Jawa Timur.
Baca juga: Kisah Budi Pego, Tolak Tambang Emas Tapi Dituduh Komunis
"Kami pertanyakan insiden ini, dan harusnya jadi isu yang menjadi perhatian untuk Kapolri dan Panglima TNI," ucap Erasmus saat dihubungi, Kamis, 27 Desember 2018.
Komandan Kodim 0809 Letnan Kolonel Kav. Dwi Agung Sutrisno mengatakan anggotanya bergerak melakukan pengamanan buku-buku itu setelah mendapat informasi dari masyarakat pada hari Rabu, 26 Desember 2018 petang.
“Anggota kami mendapat kabar kalau ada dua toko yang menjual buku PKI,” kata Dwi Agung kepada Tempo, Kamis 27 Desember 2018.
Setelah dilakukan penelusuran diketahui jika dua toko tersebut adalah Toko Q Ageng dan Toko Abdi di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Keduanya berada tak jauh dari kompleks pusat pembelajaran Bahasa Inggris atau yang dikenal dengan Kampung Inggris.
Dari pemeriksaan di dua toko tersebut, anggota Kodim menemukan 138 buku yang disebut-sebut berisi ajaran komunis. Ratusan buku itu terdiri dari berbagai judul dan penulis dengan paling banyak dijual di Toko Q Ageng.
Beberapa buku yang disita, misalnya, "Benturan NU PKI 1948-1965" yang disusun oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kemudian ada, "Di Bawah Lentera Merah" karangan Soe Hok Gie yang membahas pergeseran pola gerakan Sarekat Islam Semarang.
Baca juga: Komunisme dan PKI: Yang Telah Mati, yang Terus Dipolitisasi
Erasmus menuturkan, untuk menyita buku, dalam hal ini barang milik masyarakat sipil, harus melalui aturan atau perintah dari pengadilan. "Ini jelas melanggar. Tidak bisa sembarangan, semua ada aturannya," kata dia.
Justru, kata Erasmus, jika TNI dan Polri terbukti menyita tanpa adanya perintah maka bisa dikenakan sanksi pidana jika para pemilik buku itu melapor. Sebab, itu termasuk pencurian. Meski buku-buku itu berisikan ajaran komunisme.
"Yang nyita aja belum tentu baca dan paham isi buku-bukunya," ucap Erasmus.