TEMPO.CO, Jakarta - Jamiah, 60 tahun, tampak membolak-balik puing-puing reruntuhan bekas rumahnya di pesisir Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten, Senin pagi, 24 Desember 2018. Tempat tinggalnya luluh-lantak akibat gelombang tsunami Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018.
Baca: Kisah Manajer yang Sembunyi di Kontainer saat Tsunami Selat Sunda
"Saya sedang mencari benda berharga satu-satunya," kata Jamiah yang ditemui Tempo di bekas kediamannya, RT 15 RW 08, Sumur, Pandeglang, Banten. Ia terlihat bingung. Rumahnya yang berdinding kayu dan anyaman bambu itu rata dengan tanah.
Jamiah pun hampir tak mengenali lagi rupa rumahnya. Di petak rumah yang ia ingat sebagai lokasi kamar, ia membongkar reruntuhan dan memunguti baju-bajunya. Setelah itu, berkali-kali ia mengambil-buang belasan baju yang tersangkut di kayu dan merogoh kantong-kantong dalam pakaian tersebut.
"Saya cari uang Rp 100 ribu, enggak ketemu-ketemu," katanya. Menurut Miah, biasa disapa, duit itu adalah satu-satunya barang yang bakal selamat. Perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu banyak menaruh harap pada sebuah baju di lemari yang sudah bobrok tertimpa pohon kelapa.
Baca: Tsunami Selat Sunda, Cerita Koki yang Selamat Berkat Kabel AC
"Saya ingat, saya taruh di baju. Tapi saya lupa bajunya," katanya, menambahkan. Uang itu rencananya bakal ia pakai untuk membeli mi instan atau biskuit di warung.
Miah berkisah, ia hidup mandiri. Anaknya meninggal sedari bayi. Sedangkan suaminya, nelayan, sudah lama meninggal. Ia meyakini duit hasil kerja sebagai buruh itu bisa digunakan untuk menghidupi dirinya sembari menunggu bantuan.
Bersama Miah, ratusan warga di Kecamatan Sumur mengaku kesulitan makan. Wilayah mereka terisolasi lantaran jalan putus. Menurut pantauan Tempo di lokasi, relawan dan aparatur gabungan TNI serta Polri baru mulai menjangkau wilayah ini semalam, Ahad, 23 Desember. Itu pun, fokus para petugas adalah mengevakuasi warga yang masih hilang.
Selama dua hari bertahan pasca-tsunami, Miah dan tetangganya saling berbagi makanan.