TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan ketertutupan pemerintah Cina terhadap kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Uighur yang banyak tinggal di Provinsi Xinjiang.
"MUI menyesalkan adanya informasi tentang tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur," kata Ketua MUI Pusat Abdullah Jaidi di Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018.
Baca: Dituding Tak Tegas Soal Uighur Karena Utang, Istana Angkat Bicara
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelumnya menyatakan terdapat satu juta muslim Uighur ditahan pemerintah Beijing tanpa proses hukum. Menurut Anggota Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Gay McDougall, wilayah otonom Uighur diubah seperti kamp.
Di sana para tahanan diwajibkan mengucapkan sumpah setia kepada Presiden Cina Xi Jinping. Berdasarkan laporan lainnya, mereka juga dipaksa meneriakkan slogan Partai Komunis. Kabarnya, para tahanan tidak diberi makan dengan baik. PBB juga menerima laporan penyiksaan terhadap tahanan.
Pemerintah Cina mengakui menahan sejumlah orang. Namun mereka berdalih tindakan tersebut merupakan upaya untuk mencegah terorisme.
Baca: Polisi Siap Kawal Demonstrasi Bela Muslim Uighur di Kedubes Cina
Menurut Abdullah, hingga kini Cina tidak memberikan klarifikasi soal dugaan tindakan represif terhadap Uighur. Ia menyayangkan Cina yang tidak memberi keterangan jelas soal kebijakannya bagi Uighur.
"Uighur ini infonya melawan pemerintah, yang disayangkan Cina tidak klarifikasi secara jelas kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia. Tidak ada kejelasan itu maka berbagai pihak menyampaikan kondisi riil yang memicu kepedulian Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia," kata Abdullah.
Baca: Sikap Indonesia pada Penindasan Muslim Uighur, Begini Kata JK
Selain itu, menurut Abdullah, dari sejumlah laporan lembaga internasional kebebasan beragama Uighur dibatasi Cina. Hal tersebut ia sebut bertentangan dengan HAM berdasarkan International Convenant on Social and Political Rights.
"Muslim Uighur yang merupakan mayoritas penduduk di provinsi Xinjiang memiliki kebebasan yang mesti dijamin negara untuk menjalankan ajaran agamanya," kata Abdulah.