TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise akan membahas aturan batas minimal usia perkawinan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tindakan ini diambil untuk merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Baca: MK Kabulkan Gugatan Uji Materi Batas Usia Perkawinan
Dalam putusan tersebut, MK membatalkan aturan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah, seperti tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Aturan itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan hukum mengikat. MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merevisi UU Perkawinan untuk menentukan batas usia minimal. MK memberi waktu paling lama tiga tahun.
Yohana mengatakan, pihaknya segera menyusun bahan untuk membahas batasan usia minimal untuk menikah dengan DPR. "Setelah membanding-bandingkan dengan negara-negara lain, rata-rata yang saya ambil, khusus perempuan 20 tahun dan laki-laki 22 tahun," katanya di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018.
Menurut dia, angka itu belum ideal jika dilihat dari sisi kesetaraan gender. Dia tak ingin ada ketidakadilan sehingga usia minimal untuk menikah, baik bagi perempuan dan laki-laki harus sama. Menurut dia bagusnya, minimal 22 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Baca: Cerita Maryanti, Pemohon Uji Materi UU Perkawinan
Yohana tak setuju jika batas usia ideal itu dianggap terlalu ambisius. Dia optimistis anggota Dewan akan memahami maksudnya. Menurut dia, pemerintah akan melakukan pendekatan dan persiapan sebaik mungkin agar tercapai kesepakatan bersama.
MK sebelumnya mengadakan uji materi atas Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang diajukan oleh tiga orang perempuan yang menikah di bawah umur. Mahkamah membatalkan usia minimum perkawinan namun tak menetapkan usia yang boleh menikah.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, MK tak dapat menentukan batas usia minimal perkawinan. "Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal itu justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat," ujarnya seperti dilansir keterangan tertulis MK.
Untuk itu Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya tiga tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan batas usia minimum perkawinan.
Baca juga: Menteri PPPA dan Menteri Agama Akan Bahas Revisi UU Perkawinan
Selain membatalkan batas usia pernikahan, MK juga menyatakan aturan itu diskriminatif. Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams mengatakan pasal tersebut diskriminatif karena membedakan batas usia minimum perkawinan antara perempuan dan laki-laki. Dampaknya, perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan.