TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Koordinator KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Putri Kanesia kecewa dengan sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang tak menemui korban kasus pelanggaran HAM saat mereka berdemo di depan Kantor Komnas, Jakarta Pusat, 11 Desember 2018.
"JK bahkan tidak menghampiri Ibu Sumarsih, keluarga korban Semanggi I yang juga turut aksi bersama kami," kata Putri kepada Tempo.
Baca : ILR Sebut Perlindungan HAM Era SBY Lebih Baik ketimbang Era Jokowi
Sejumlah aktivis dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu mengadakan aksi unjuk rasa di depan kantor Komnas HAM, saat acara perayaan Hari HAM Internasional berlangsung. Acara tersebut turut dihadiri JK dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Peserta unjuk rasa di antaranya para aktivis dari KontraS, LBH Jakarta, YLBHI, dan Amnesty International. Adapun keluarga korban yang ikut berunjuk rasa selain Sumarsih adalah Budi Pego, aktivis penolak tambang yang dipenjara karena demo menggunakan spanduk palu-arit di Banyuwangi.
Setelah acara peringatan HAM selesai, Jusuf Kalla (JK) keluar dari lokasi acara menuju mobilnya. Sebelum pergi, JK sempat maju ke depan mobilnya. Ia melihat para pendemo, kemudian hanya melambaikan tangan kepada mereka.
Putri mengatakan, para aktivis dan keluarga korban HAM masa lalu kecewa karena Presiden Joko Widodo juga tidak hadir di Komnas HAM. Selain itu, yang membuatnya makin kecewa adalah sikap aparat yang menghalangi aksi unjuk rasa tersebut.
Simak juga :
Soal Penuntasan Kasus-kasus HAM Masa Lalu, Moeldoko: Perlu Kesabaran
"Paahal kami hanya aksi damai ingin menyampaikan kegelisahan, karena kasus pelanggaran HAM berat yang juga masuk dalam agenda Nawacita pemerintah Jokowi-Kalla tidak satupun diselesaikan," kata dia.
Menurut Putri, para aktivis dan keluarga korban tidak ingin kehadiran Jokowi dalam perayaan Hari HAM sedunia itu hanya dijadikan gimmick politik atau pencitraan menjelang pemilihan presiden 2019. Karena itu, tuntutan para peserta unjuk rasa adalah meminta Jokowi-Kalla menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sebelum masa jabatannya berakhir.