TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Hanafi Rais, mengatakan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi - Jusuf Kalla perlu segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Karena bila tidak, hal ini akan dibebankan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah selanjutnya.
Baca juga: KontraS: 4 Tahun Jokowi - JK Gagal Penuhi Janji Soal HAM
“Peristiwa pelanggaran HAM masa lalu harus diusut tuntas dan segera diselesaikan melalui jalur hukum,” ujar Hanafi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin 10 Desember 2018.
Menurut Hanafi data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah membuat beberapa catatan merah kasus pelanggaran HAM yang tak terselesaikan tersebut. Diantaranya: Peristiwa penembakan misterius atau Petrus yang terjadi pada 1982 hingga 1985; Kerusuhan Tanjung Priok pada 12 September 1984; Peristiwa Talangsari, Lampung Timur pada 7 Februari 1989; Peristiwa Haur Koneng, Majalengka pada 29 Juli 1993. Selanjutnya, peristiwa penghilangan aktivis pada pangkal masa Orde Baru tahun 1997-1998; Trisakti, Semanggi I, Semanggi II; dan kerusuhan Mei 1998, hingga kasus Munir.
Hanafi mengatakan sampai saat ini hanya kasus penculikan aktivis pada 1997-1998 saja yang telah diproses secara hukum pada tahun 1999. Kasus penculikan yang menyeret 11 anggota tim bentukan Kopassus, yang disebut tim mawar pun kata dia, tidak diselesaikan secara memuaskan. Dari 11 anggota hanya 5 yang dipenjara lalu dipecat, sisanya hanya dihukum penjara saja.
“Lalu bagaimana dengan kasus pelanggaran HAM lainnya?” tutur Wakil Ketua Komisi I DPR ini. Hanafi menuntut Jokowi menunaikan janjinya di masa-masa awal memerintah. Menurut Hanafi Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus-kasus HAM lainnya.
Menurut Hanafi kasus ini akan terus menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin selanjutnya bila terpilih pada 2019 nanti. Ia menambahkan, selain dituntaskan, perlu ada badan rekonsiliasi nasional agar semua anak bangsa tidak lagi saling bermusuhan.
Baca juga: 4 Tahun Jokowi - JK: Infrastruktur dalam Bayang Janji Kasus HAM
Hanafi pun mengatakan, bahwasanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM membutuhkan komitmen dan keberanown dari pihak penguasa. Karena dapat turut menyeret sejumlah pihak yang dekat dengan kekuasaan. Namun resiko ini, harus berani diambil, karena dengan penyelesaian kasus-kasus inilah, ongkos yang harus ditebus untuk mewujudkan keadilan sosial.
"Meski beresiko terganggunya stabilitas politik namun pemerintah harus menunjukkan komitmen, bukan semata untuk kepentingan elektoral, tapi dilandasi kemauan politik dan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial," ucap dia.