TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK membuat peserta rapat koordinasi nasional pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu 2019 tertawa terbahak-bahak karena guyonan dalam pidatonya.
Baca juga: JK: Korupsi Meluas karena Perubahan Sistem Pemerintahan
JK saat itu sedang membuka rakornas yang dihadiri anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum dari berbagai daerah. Dalam pidatonya, JK mengatakan bahwa konstitusi di Indonesia tidak jelas dalam menentukan lembaga mana yang memiliki kedudukan paling tinggi. "Selalu mengatakan yang tinggi itu presiden dan wapres, kepala negara," kata JK di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Senin, 10 Desember 2018.
Tapi, kata JK, yang menandatangani sebagai presiden itu Ketua KPU. "Jadi yang tinggi KPU, yang melantik wapres itu KPU, yang bikinkan SK-nya lalu diterima Pak Tjahjo (Menteri Dalam Negeri)," kata JK diiringi tawa peserta rakornas.
Dengan komposisi seperti itu, kata JK, berarti KPU memiliki kedudukan yang tinggi. Tetapi, KPU sendiri diawasi oleh Bawaslu. JK mengatakan, pengawas itu lebih pintar dan tinggi daripada yang diawasi. "Kalau kurang tinggi dan kurang pintar ya sulit. tapi jangan ketawa dulu, yang bisa pecat Bawaslu itu DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)," katanya.
Jadi, kata JK, yang bisa memecat itu punya kedudukan lebih tinggi daripada yang dipecat. Tetapi, JK mengatakan, yang mengangkat anggota DKPP adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, keanggotaan DPR pun dapat diubah keputusannya oleh Mahkamah Konstitusi.
"Jadi yang bisa mengubah keputusan yang lebih tinggi daripada yang membuat. Jadi 570 orang itu dapat diubah oleh lima orang (hakim) di MK. Jadi tinggi juga MK," ujarnya.
Baca juga: Menjelang Pemilu, JK Minta ICMI Tak Fokus Bahas Politik
Tak sampai di situ, JK kembali membuat seisi ruangan tertawa. Pasalnya, JK mengatakan bahwa anggota MK pun dilantik oleh Presiden. "Jadi berputar-putar ini," kata dia.
Inti yang ingin JK sampaikan adalah Bawaslu juga memiliki kedudukan penting karena dapat mengoreksi KPU, yang menandatangani SK presiden terpilih. "Ini statusnya, jadi bingung kita. Tapi begitulah kenyataannya. Kalau dulu ada lembaga tertinggi MPR, sekarang ndak lagi seperti itu setelah amandemen UUD 45," kata JK.