TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai masih ada pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Apalagi masih ada upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara masif.
Baca juga: LSI: 52 Persen Responden Berpersepsi Korupsi Meningkat Tahun Ini
“Mulai dari upaya-upaya pelemahan KPK, korupsi politik yang tak terbendung, hingga upaya perbaikan regulasi yang masih jalan di tempat dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Yuris Rezha, peneliti Pukat UGM di hari Antikorupsi, Senin, 10 Desember 2010.
Upaya serangan-serangan terhadap KPK adalah salah satu isu klasik. Namun seringkali gagal diantisipasi oleh pemerintah. Pelemahan KPK melalui revisi undang-undang KPK, kriminalisasi pimpinan KPK maupun penyerangan terhadap pegawai KPK menjadi permasalahan serius yang harus diselesaikan.
Serangan-serangan kepada KPK berpotensi muncul sewaktu-waktu dan berulang-ulang lagi selama belum ada komitmen dan kebijakan konstruktif. Jelas ini merupakan hambatan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Di era Jokowi, janji penguatan kelembagaan KPK tidak sepenuhnya dilaksanakan. Di awal pemerintahan justru terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Wacana Revisi UU KPK yang bernuansa melemahkan KPK muncul sepanjang tahun 2015-2017.
“Meskipun usulan menghilangkan kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan menyadap, hingga membatasi usia kerja KPK berasal dari DPR, namun pemerintah lebih banyak pasif. Alih-alih melawan wacana tersebut dengan wacana tandingan yang memiliki arah penguatan KPK seperti misalnya mewacanakan pembentukan KPK Perwakilan di daerah,” kata dia.
Ia menyebut, agenda strategis dan rencana kebijakan mengenai upaya preventif menyadarkan masyarakat melalui pendidikan antikorupsi juga tidak berjalan. Khususnya pendidikan antikorupsi di tingkat perguruan tinggi, pemerintah juga belum nampak memberikan perhatiannya.
“Padahal sejak 2012, sudah ada Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 1016/E/T/2012 yang pada intinya menyatakan bahwa meminta kepada setiap perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi,” kata Yuris.
Selain itu, menurut Pukat, kasus korupsi utang BLBI, Century dan E-KTP juga belum sepenuhnya selesai.
Baca juga: LSI: 34 Persen Masyarakat Anggap Suap dan Gratifikasi Hal Wajar
Misalnya dalam kasus BLBI, meskipun tahun ini berhasil menjatuhkan vonis terhadap Syafruddin Temenggung, namun sejatinya ia hanya sebagian kecil dari bagian lain yang belum diusut dari kasus korupsi dengan kerugian negara hingga lebih dari 4 triliun ini.
Begitu pula dengan kasus Bank Century, pemerintah perlu mendukung dan mendorong KPK agar penegakan hukum kasus yang sistemik ini mampu menjerat aktor-aktor utama yang terlibat.
“Selain itu, kasus korupsi E-KTP yang mulai diusut pada periode pemerintahan ini patut diapresiasi, hanya saja pemerintah harus mendorong KPK untuk berkomitmen dalam melanjutkan pemeriksaan kepada nama-nama yang diduga menerima aliran dana korupsi E-KTP yang telah disebut baik dalam dakwaan maupun putusan,” kata Zaenurrohman, salah satu peneliti Pukat.