TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari The Political Literacy Institute, Muhammad Rosit, mengatakan saat ini hanya sekitar 11 persen anak muda yang mau menjadi politikus. Angka yang ditemukannya dari salah satu lembaga survei ini, ia pahami sebagai tingginya sikap apatis anak muda sekarang ini terhadap dunia politik.
Rosit memperkirakan hal ini terjadi karena politik masih diidentikkan dengan hal-hal berbau kotor dan serba curang. Rosit meyakini solusi mengubah citra politik bagi anak muda adalah melakukan merancang ulang citra kancah politik. "Sekarang bagaimana mendesain ulang politik Indonesia sehingga menarik milenial," ujarnya dalam acara Diskusi Akhir Tahun dengan tema Prospek Politik Kaum Muda, di Litera Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat, 30 November 2018.
Baca: Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk
Rosit mengatakan, citra politik kian runyam karena tidak ada diskursus politik yang memadai di ruang publik. Istilah-istilah yang bertebaran menuju Pilpres 2019, seperti politikus sontoloyo, politikus genderuwo dan tampang Boyolali, kata Rosit, memperkeruh ruang publik hingga akhirnya menjauhkan substansi pendidikan politik, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari masa kampanye.
Menurut data The Political Literacy Institute, setiap pemilu jumlah pemilih pemula berjumlah cukup signifikan. Pada 2004, terdapat 50,05 juta orang, pada 2009 ada 36 juta orang dan pada 2014 ada 40 juta orang pemilih pemula. Pada 2019 diperkirakan angka pemilih pemula akan lebih besar lagi. Meski keberadaan pemilih pemula ini dinilai sangat penting dan strategis, menurut Rosit, namun upaya pendekatan kepada mereka masih dirasa kurang dan tidak memberdayakan.
Baca: KPK Siapkan Pendidikan Politik Bagi Politikus Muda
Rosit pun mengharapkan politikus muda yang telah terjun mampu mendekonstruksi politik Indonesia agar lebih etis dan menarik minat kaum muda harapan bangsa. Karena urusan politik mau tidak mau berkaitan dengan hajat hidup banyak orang. "Karena produk dari politik, adalah kebijakan," ujarnya.
Dua politikus muda, Faldo Maldini dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Tsamara Amany dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sepakat bahwa politikus muda wajib membawa gagasan yang memberdayakan anak muda. Menurut mereka, tak lagi relevan melabeli diri sebagai calon legislatif muda namun tak membawa program yang berpihak kepada anak muda.
"Anak muda itu mau ngapain? Kita bicara soal infrastruktur digital, kita bicara soal perkembangan teknologi, soal pendidikan, itu menurut saya menarik anak-anak muda," ujar Tsamara ditemui di lokasi yang sama.
Baca: Guyon Mardani Ali Sera dan Dahnil soal Politikus Kemarin Sore
Menurut Tsamara, tak cukup dengan bergaya seperti anak muda, tanpa mau mendengarkan mereka. Ia menilai penting untuk mendengar dan berbicara soal isu-isu yang berkembang di antara anak muda.
Pengamat politik sekaligus pengurus The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto membenarkan bahwas karakteristik pemilih pemula adalah resiprokal atau komunikasi dua arah. Anak muda, kata Gun Gun tidak suka dengan model kampanye linier yang berjalan satu arah. Anak muda lebih suka dilibatkan.
"Kampanye, berbicara berjam-jam sampai berbusa-busa tidak disukai. Lebih senang banyak dilibatkan dalam satu action, kegiatan, jadi lebih pada pemberdayaan komunitas," ujar Gun Gun.
Baca: Trik Buat Politikus agar Menarik Generasi Milenial di Pemilu