Kemarin di Madura ada yang ditembak karena beda capres, bagaimana tanggapan Ibu dikaitkan dengan revolusi mental?
Menurut saya ini beda antara revolusi mental sama situasi politik. Karena yang saya pahami politik itu seharusnya jangan sampai memecah belah kita. Ini kan cuma urusan demokrasi 5 tahunan, untuk memilih pimpinan 5 tahun ke depan. Kalau kemudian hanya karena beda pilihan terpecah belah, buat saya itu bukan politik yang sehat. Seharusnya pesta demokrasi ini bikin kita gembira dan aman. Menyampaikan pilihan kita berbeda bukan berarti kita jadi enggak bersaudara, bukan kita enggak orang Indonesia. Apakah kemudian kalau salah satu calon akan menang kita enggak akan tinggal di Indonesia? kan kita akan tinggal di Indonesia. Kalau kita enggak punya pilihan lain, masa mau pindah ke luar negeri gitu kan.
Jadi yang harus dipahami adalah pesta demokrasi ini adalah pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia untuk memilih pimpinan nasionalnya sesuai pilihannya tanpa kemudian memecah belah kita.
Kapan target pemerintah untuk program revolusi mental ini berhasil?
Setiap tahun kita punya target. Apakah pelayanan publik bisa berubah, apakah kemudian pelayanan ini bisa memengaruhi kebiasaan seseorang. Setiap targetnya berbeda-beda di setiap kementerian. Tapi target utamanya adalah perubahan dari yang kurang baik menjadi lebih baik atau baik sekali untuk masyarakat. Dan selama 5 tahun periode pemerintahan ini tentu aja target-target itu akan kami evaluasi. Kami lihat sejauh mana ini sudah berjalan. Namun saya optimis sekarang ini dari pemerintah pusat sampai daerah sudah berusaha melakukan gerakan revolusi mental.
Bagaimana koordinasi pemerintah pusat dengan kepala daerah yang beda (pilihan pilpres)?
Sampai saat ini setiap saya melakukan kegiatan kerja nyata revolusi mental, misalnya di Solo dan Manado, yang dateng kepala daerahnya warna warni. Enggak ada urusannya warnanya apa lalu enggak mau koordinasi. Enggak ada. Semuanya datang warna warni dan semuanya sepakat. Kepala daerah berkeinginan untuk bisa membuat rakyatnya sejahtera, memberikan satu perbaikan untuk rakyatnya.
Kedatangan mereka itu kan menunjukkan mereka enggak ada masalah. Kalau ada masalah pasti enggak mau dateng. Dan saya sebagai salah satu koordinatornya mereka datang ke saya, happy enjoy. Kita enggak bicara warna dan setiap saya lihat laporannya benar-benar melakukan hal tersebut dan ingin berkoordinasi. Saya undang ke kantor saya juga datang. Saya diundang ke daerahnya saya juga datang. Kan biasanya salah satu indikasi keberatan itu diundang enggak pernah hadir. Itu saja. Ini ramai, banyak gubernur yang beda warna juga datang.
Salah satu program revolusi mental adalah pembangunan gender. Angkanya positif. Masalahnya angka kekerasan seksual masih tinggi. Bagaimana menurut Ibu?
Pertama kami koordinasi dengan kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Karena memang itu teknisnya di PPPA. Kemenko cuma koordinasikan lintas sektor. Kemudian kami libatkan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), organisasi perempuan. Jadi lintas sektor. (Dengan) Kementerian Agama, Kemensos, sama-sama cari solusinya. Yang pasti bagaimana caranya mengurangi itu. Yang penting harus dilakukan menurut saya salah satunya adalah pendidikan. Bahwa perempuan itu harus diberikan kesempatan mendapatkan pendidikan sama dengan laki-laki.
Baca: Menko Puan Evaluasi 4 Tahun Revolusi Mental: Enggak Bisa Instan