Apa indikator perubahan tersebut?
Pakai survei BPS (Badan Pusat Statistik), itu yang menjadi acuannya. Kemudian apa yang sudah kami lakukan yaa kalau di tempat saya sesuai tupoksinya ya. Kami melakukan intervensi-intervensi berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Bansos itu kemudian kami arahkan by name by address di bidang pendidikan dan kesehatan. Kemudian (untuk) orang miskin seperti ada program keluarga harapan untuk ibu-ibu. Menapa ibu-ibu? Karena kami anggap ibu-ibu ini yang punya tanggung jawab untuk mendidik anaknya. Kan secara ketimuran memang seperti itu. Bapak kepala keluarga, ibu yang mengurus anak atau rumah. Itu uang PKH-nya kita berikan kepada ibu untuk dipergunakan memberi makanan tambahan gizi, mengatur kebutuhan anaknya kalau misalnya mereka ada kebutuhan sekolah. Tapi untuk kebutuhan sekolah kami juga kasih. Biasanya ibu penerima PKH, anak juga penerima KIP.
Tapi ada pihak yang menganggap keberhasilan ini hanya anggapan pemerintah saja. Bagaimana tanggapan Ibu?
Kami memang sekarang ini sedang bersama-sama dengan kementerian di bawah saya, ada 8 kementerian. Juga saya koordinasi dengan semua Menko yang ada untuk bisa me-link-an keberhasilan ini menjadi satu keberhasilan bersama. Dalam arti, kesejahteraan sosial ini enggak mungkin berhasil tanpa dukungan ekonomi, tanpa ada keamanan (lewat) Kemenkopolhukam dan enggak mungkin berhasil juga kalau kemudian kami enggak gabungkan dengan poros maritim yang menjadi cita-cita Pak Jokowi. Jadi memang semuanya ini enggak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Ini harus bersama-sama sehingga orang bisa melihat ini (sebagai) keberhasilan memang ada gotong royong.
Ini yang diturunkan ke Inpres (instruksi presiden)?
Iya, revolusi mental, Inpres Nomor 12 Tahun 2016
Pemerintah juga akan mengeluarkan dana kelurahan selain dana desa. Bagaimana kajian kebijakan tersebut?
Rencananya tahun depan. Sekarang kan Kemenkeu sedang membuat skemanya. Bagaimana ini bisa dilakukan di kelurahan dan kecamatan. Kalau dana kelurahan ini kan wali kota-wali kota, kepala-kepala daerah itu menyampaikan kenapa kita enggak dikasih kesempatan untuk membangun kota. Itu salah satu pertimbangannya. Jadi bukan pemerataan, (tapi) kesamaan lah. Karena kalau kabupaten dibandingkan kota, kota kecil lah.
Pihak oposisi menilai revolusi mental yang digaungkan pemerintah belum maksimal, Mengapa?
Pertama baru dilakukan 4 tahun. Tadi saya sampaikan untuk mengubah satu kebiasaan seseorang saja enggak gampang. Makanya saya sampaikan ini enggak mungkin bisa berjalan instan. Jadi siapa pun yang nantinya akan menjadi pimpinan nasional --saya kan enggak berbicara sampai 2019 saja, 2024, sampai seterusnya-- kita kan enggak tahu pemimpin nasional kita nanti siapa. Ya kita berharap revolusi mental ini tetap harus dilakukan. Tetapi dengan bukti-bukti nyata di lapangan ini, saya merasa bahwa optimis gerakan revolusi mental ini sudah perlahan --memang sampai sekarang kita belum bisa melihat apa ini gerakan revolusi mental-- karena ini besar, luas, bahkan engga membuang sampah sembarangan saja itu sudah gerakan revolusi mental.
Kemudian rehabilitas sungai Citarum, itu revolusi mental. Dari yang kotor kayak gimana, kita mau perbaiki itu revolusi mental. Kemudian bagaimana kita membangun infrastruktur supaya enggak macet, itu revolusi mental. Jadi semua itu sebenarnya revolusi mental yang sudah dilakukan. Pelayanan publik sekarang pakai sistem Lapor. Semua kementerian diharapkan punya dashboard tentang apa saja yang sudah dilakukan, itu juga revolusi mental. Saya sih akan melihat bahwa kalau nanti pun tahun 2024 misalnya akan ada perubahan pemerintahan, atau apa pun namanya kalau dari tidak baik menjadi baik ya menurut saya itu revolusi mental.
Selanjutnya bagaimana tanggapan soal penembakan akibat beda pilihan capres?