Tak Kunjung Membahas DIM
Per Ahad, 25 November 2018, genap 1.059 hari RUU PKS ada di DPR. Momentum perayaan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan yang digunakan oleh pelbagai pihak untuk mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan draf aturan tersebut.
Namun, pembahasan RUU PKS bukan cuma terkendala persoalan definisi yang belum disepakati di internal dan diprotes pihak luar. Persoalan juga merentang antara DPR dan pemerintah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan banyak perubahan dan penghapusan daftar inventarisasi masalah (DIM) terhadap RUU usulan Dewan tersebut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, dari 774 DIM, pemerintah hanya menyatakan 48 DIM tetap. Berikutnya, ada 4 DIM yang diusulkan diubah substansinya dan 100 DIM diubah redaksional. Pemerintah juga mengusulkan 72 DIM baru serta penghapusan 550 DIM.
Marwan mengatakan Komisi VIII belum akan membahas DIM bersama pemerintah. Dia beralasan, Dewan masih memerlukan masukan para pakar bagaimana sebaiknya rumusan pasal-pasal yang dipersoalkan. “Saya pikir mentok juga di DIM, kecuali kami menemukan rumusan final apa yang kami khawatirkan tadi,” ujarnya.
Dalam DIM-nya, Kementerian PPPA menyoal definisi kekerasan seksual. Dari sembilan definisi kekerasan seksual dalam draf yang dibuat DPR, Kementerian menghapus lima di antaranya, yakni pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual. Kementerian juga mengusulkan perubahan redaksional, dari pelecehan seksual menjadi pencabulan.
Diah menjelaskan salah satu definisi di atas. Pemaksaan kontrasepsi, kata Diah, masuk dalam rumusan definisi kekerasan dengan alasan empirik. Dia mengungkapkan ada banyak perempuan disabilitas yang diperkosa berkali-kali di rumah atau panti tempat tinggal mereka, sekaligus dipakaikan kontrasepsi agar tidak hamil. “Mereka sudah dianggap lemah secara sosial, kemudian dipakaikan kontrasepsi secara paksa. Bagaimana nasibnya?”
Baca juga: Menteri Yohana Ingin Pelaku Pelecehan Baiq Nuril Dihukum
Pembahasan RUU PKS juga terkendala masalah jadwal di masa persidangan ini. Marwan mengatakan RUU PKS kemungkinan tak akan bisa banyak dibicarakan di masa persidangan kedua yang berlangsung sejak 21 November hingga 13 November nanti.
Padahal, Ketua DPR Bambang Soesatyo sebelumnya sudah buka suara. Tersengat kasus menimpa Baiq Nuril Makmun yang dihukum lantaran merekam tindakan pelecehan seksual yang dialaminya, Bamsoet, sapaan Bambang, mengatakan Dewan akan mengebut pembahasan RUU PKS. Bamsoet mengatakan DPR akan membahas RUU PKS setelah reses masa persidangan pertama yang berakhir 20 November lalu.
Bamsoet juga menampik adanya anggapan DPR tak serius. “Jika ada anggapan DPR RI tak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar anggota dewan adalah pria, ini salah besar,” kata Bamsoet melalui keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 19 November.
Menurut Marwan, pembahasan RUU PKS tak bisa digeber lantaran Dewan harus berfokus merampungkan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah terlebih dulu. RUU Haji dan Umrah ini sebenarnya telah menjadi prolegnas prioritas sejak 2015, tetapi belum juga rampung.
Sara Djojohadikusumo berharap RUU PKS bisa segera dibahas. Kendati berusaha optimistis RUU itu bisa disahkan di periode sekarang, Sara agaknya tak yakin hal itu terealisasi sebelum Pemilihan Umum 2019. Sara tak memungkiri saat ini anggota Dewan lebih banyak berkegiatan di daerah pemilihan masing-masing demi kepentingan elektoral di pemilihan legislatif 2019.
Selain terkendala definisi dan jadwal persidangan, Marwan membeberkan hambatan lain. RUU PKS juga ibarat tersandera kebuntuan pembahasan revisi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Komisi Hukum DPR.
“Kami ingin bertanya ke Komisi tiga, mengapa mentok juga, karena kaitan itu juga ada di sini, karena kami kan pelengkap UU KUHP,” kata Marwan.
Revisi UU KUHP yang sempat dijanjikan disahkan pada 17 Agustus lalu akhirnya molor. Pemerintah dan DPR menuai kritik berniat memasukkan perluasan pasal terkait kesusilaan yang meregulasi zina dan homoseksual. Perluasan ini dinilai akan menimbulkan masalah baru oleh sejumlah ahli hukum dan aktivis hak asasi manusia.
Sebab, pemerintah dan DPR dinilai belum memikirkan implikasi pemberlakuan pasal-pasal yang dinilai kontroversial itu. Implikasi yang dimaksud meliputi kesiapan aparat penegak hukum dan kapasitas lembaga permasyarakatan.
Sara berpendapat RUU PKS tak perlu menunggu revisi KUHP rampung. Sebab, jika RUU PKS disahkan terlebih dulu, KUHP-lah yang harus menyesuaikan lantaran dua undang-undang ini posisinya setara.
Diah Pitaloka menambahkan, kedua undang-undang tersebut semestinya satu paradigma, tergantung siapa yang lebih dulu ditetapkan. Namun, dia mengakui terjadi perdebatan sengit terhadap RUU PKS dan revisi KUHP itu.
Baca juga: Pemerintah Tak Punya Regulasi untuk Kekerasan Seksual di Kampus
“Sekarang tinggal dulu-duluan. Apakah nanti disahkannya RUU PKS mewarnai kebuntuan di KUHP, atau KUHP yang memberi kita ide untuk pasal itu,” ujar Diah.
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Marosong belum dapat dimintai keterangan soal komitmen membahas dan merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Panggilan telepon Tempo tak tersambung, sedangkan pesan yang dikirimkan melalui Whatsapp hanya dibaca.