TEMPO.CO, Palu - DUA bulan sudah berlalu, tetapi bayangan tsunami Palu masih menghantui Ignatius Sesar setiap kali ia akan memejamkan mata untuk tidur. "Kalau malam sebelum tidur, biasanya terbayang," kata Sesar kepada Tempo, Kamis malam, 21 November 2018. Ia teringat bagaimana harus bergantungan di tiang menahan terjangan air bah setinggi tiga meter.
Simak: Cerita Relawan Turki: 300 Tenda Pengungsi Gempa dan Tsunami Palu
Sesar masih ingat kejadian di hari naas itu. Jumat, 28 September 2018, ia sedang rapat bersama koleganya di pinggir pantai Talise, di Jalan Kampung Nelayan. Ceritanya, Sesar menjadi panitia lomba renang teluk untuk Fetival Nomoni.
Di tengah rapat, gempa mengguncang Palu. Sesar dan kawan-kawannya panik. Lindu pertama ini hanya berlangsung sesaat. Begitu berhenti, Sesar bergegas ke tempat parkir untuk menyelamatkan mobilnya.
Pria berumur 41 tahun itu memindahkan mobil untuk menjauhkan dari tepi. Turun dari mobil, Sesar mendengar teriakan "tsunami". Tanpa menoleh ke laut, ia lari ke restoran sea food yang lokasinya lebih tinggi dari bibir pantai.
Gelombang menghantam, lima detik setelah menginjak lantai restoran. Kedua kakinya menjepit panggangan ikan dari bata berlapis ubin. Ia mampu bertahan hingga gelombang ketiga melepas jepitan. Sesar terseret ke arah laut.
Dalam keadaan pasrah, dia tersangkut di tiang terakhir penyangga restoran. Sambil memandang Teluk Palu berwarna coklat, Sesar menggantungkan hidup di tiang itu hingga tsunami surut. Tuhan menyelamatkan saya melalui tiang itu," kata dia.
Mustahil bagi Sesar untuk melupakan pengalaman hidup dan mati itu. Walau tak trauma melihat laut, tsunami kerap muncul dalam pikiran. Khususnya sebelum tidur, membuat ayah satu anak itu gelisah.
Untuk menghadapinya, Sesar berdoa, mengucap syukur kepada Tuhan. Dia mengatakan jika satu langkah saja salah di momen itu, ia akan hilang selamanya seperti mobil yang diparkir. "Saya diberi kesempatan lagi untuk hidup," kata Sesar.
Tsunami Palu menyisakan duka bagi banyak orang. Akibat bencana ini, korban meninggal terbanyak ditemukan di Kota Palu sebanyak 1.703 orang, Kabupaten Donggala 171 orang, Kabupaten Sigi 366 orang, Kabupaten Parigi Moutong 15 orang, dan Pasangkayu, Sulawesi Barat satu orang.
Sementara itu, sebanyak 1.309 orang dilaporkan hilang dan 4.612 orang luka-luka serta 223.751 orang mengungsi yang tersebar di 122 titik pengungsian.
Simak kelanjutannya: Cerita seorang warga Balora yang nyaris tertelan Likuifaksi.