TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) akan membuat batasan-batasan bagi penceramah untuk mencegah radikalisme. Batasan itu akan dibuat dalam bentuk kurikulum sehingga penceramah diberi penilaian.
Simak: PKS Sayangkan BIN Umumkan 41 Masjid Diduga Terpapar Radikalisme
"Dewan Masjid Indonesia (DMI) selalu minta dibuatkan kurikulum dan juga penilaian kepada penceramah," kata Ketua DMI itu di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 23 November 2018.
JK menuturkan, batasan itu bukan berarti melarang penceramah. DMI hanya ingin memberikan batasan agar tidak menyebarkan kabar bohong serta tidak berbicara tanpa data.
Namun batasan itu tak berarti penceramah perlu disertifikasi. JK mengatakan, Islam berbeda Katolik atau Kristen yang membutuhkan pendidikan untuk menjadi imam. "Kita tidak punya kyai S1, S2, dan S3. Yang menilai kyai itu ulama atau bukan ulama adalah masyarakat bukan pemerintah. Kearifannya di masyarakat," ujarnya.
Upaya pembatasan penceramah ini diambil sebagai respons dari laporan Badan Intelijen Negara (BIN) yang menyatakan adanya penceramah dan masjid yang terpapar radikalisme. JK mengaku sudah mengantongi daftarnya namun tidak membocorkan detilnya.
"Saya diberikan daftarnya. Ada yang ringan, ada yang menengah, ada yang berat," katanya. Kebanyakan paparan tersebut terjadi di masjid-masjid pemerintah.
Baca juga: Fadli Zon: Pengumuman BIN Soal Masjid Radikalisme Bikin Gaduh
JK menuturkan, DMI akan mengumpulkan penceramah dan pengurus masjid yang dianggap radikal. "Kami luruskan, Kami pendekatan pada ustad-ustadnya untuk bertemu dan ada satu cara untuk Islam yang wasatiyah, yang menengah," kata Jusuf Kalla.