TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin mengatakan keputusan tepat jika koalisi Save Ibu Nuril menyerahkan petisi #AmnestiUntukNuril yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Langkah ini sebagai upaya untuk meminta pengampunan terhadap Baiq Nuril.
Baca: Koalisi Sipil Minta Jokowi Beri Pengampunan Baiq Nuril
Ngabalin berujar, KSP pasti akan membahas petisi yang dikirimkan dan akan menyampaikannya ke Presiden Jokowi. Ia meyakini Jokowi bakal menanggapinya.
"Presiden akan memberikan tanggapan, pandangan, terkait apa yang disampaikan, apa yang diusulkan kepada kami di KSP," katanya di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin, 19 November 2018.
Menurut dia, Istana dan KSP terbuka bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya. "Saya pikir itu yang memang harus kami sikapi dengan baik supaya tidak terkesan Istana dan KSP itu tertutup. Kantor ini terbuka untuk siapa saja, termasuk kepada mereka yang menyampaikan petisi untuk amnesti," tuturnya.
Baca: Kasus Baiq Nuril, Cak Imin: Dia Korban Kok Dihukum
Sebelumnya, Koalisi Save Ibu Nuril telah mendatangi KSP dan menyerahkan satu dus ukuran sedang yang berisi ribuan petisi dari masyarakat untuk Jokowi agar memberikan pengampunan kepada pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maqnun.
Lewat laman change.org, hingga berita ini ditulis, Koalisi Save Ibu Nuril berhasil mengantongi lebih dari 100 ribu dukungan petisi hanya dalam waktu satu hari setelah dimulai oleh Erasmus Napitupulu.
"Dalam persidangan terungkap fakta bukan Ibu Nuril yang menyebarkan rekaman pelecehan seksual atasannya melainkan rekan kerjanya," kata Erasmus di KSP, Jakarta.
Sementara itu, anggota koalisi lainnya, Anggara, menuturkan KSP telah menerima surat dan petisi yang mereka layangkan. "KSP telah menyatakan telah menerima dan akan menyerahkan kepada presiden," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini.
Baca: Kasus Baiq Nuril, Jokowi: Saya Tak Bisa Intervensi Putusan MA
Kasus bermula saat Nuril bertugas di SMAN 7 Mataram kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram, M. M sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, ia merekam pembicaraan atasannya itu. Atas dasar ini kemudian M melaporkannya ke penegak hukum.
Kasus berlanjut di persidangan. Oleh Pengadilan Negeri Mataram Nuril dinyatakan tidak bersalah dan membebaskannya sebagai tahanan kota.
Jaksa lalu mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam putusan kasasinya, MA memvonis Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMU 7 Mataram.