TEMPO.CO, Jakarta - Amiruddin alias Amir Aco tak ciut meski hukuman mati telah dijatuhkan padanya. Gembong narkoba ini masih mengendalikan peredaran narkoba dari dalam selnya.
Dengan telepon genggam, Aco mengendalikan para bandar kecil untuk menjual barang haram tersebut. Menurut pengacara Aco, Amiruddin, kliennya juga pernah mengatur penyelundupan narkotik dari luar negeri.
Baca juga: Pemerintah Diminta Bentuk Tim Independen Evaluasi Hukuman Mati
“Aco mengaku sudah lama menjalankan bisnis narkotik. Jaringannya besar,” kata Amiruddin ketika ditemui Tempo di Pengadilan Negeri Makassar, akhir Oktober lalu.
Kepada Amiruddin, Aco juga pernah mengaku terhubung dengan jaringan gembong narkoba yang sudah dieksekusi mati Freddy Budiman. Tapi, Amiruddin tak bisa mengorek lebih jauh bagaimana jaringan narkotik yang dikendalikan Aco dari penjara bekerja. “Dia orangnya tertutup,” ujar Amiruddin. “Makanya, dia sampai empat kali ganti pengacara.”
Amir Aco divonis mati dalam kasus narkotika oleh Pengadilan Negeri Makassar pada 11 Agustus 2015. Keputusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Makassar.
Amiruddin alias Amir Aco sidang vonis mati kasus narkotika di Pengadilan Negeri Makassar, pada Agustus 2015. (Iqbal Lubis/Tempo)
Aco terbukti menguasai narkotik jenis sabu seberat 1 kilogram dan 4.208 butir ekstasi. Hakim saat itu menilai hukuman mati wajar diberikan karena perbuatan Aco telah berulang kali dilakukan.
Kini, Aco mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Aco pernah menjalani hukuman di Lapas Cipinang, Jakarta Timur, sejak Desember 2017. Kemudian dipindahkan ke Lapas Sungguminasa, pada Maret tahun ini.
Demi mencegah bandar narkotik ini beraksi dari balik jeruji, Amir Aco kini berada di sel isolasi berukuran 2x1 meter persegi.
Karena berstatus tahanan khusus, tidak sembarang orang bisa menemuinya. Bahkan ibu kandungnya, Sufiati Daeng Kanang, mengaku sulit bertemu dengan anaknya. Perempuan berusia 73 tahun ini menuturkan, untuk bertemu Aco, dia harus mengantongi surat izin dari Kejaksaan Negeri Makassar.
Itu pun tak mudah mengurusnya. Karena itu, sang ibu biasanya memilih menunggu pengacara Aco dari Jakarta berkunjung ke penjara. “Kalau tak ada pengacara, ya saya tidak bisa jenguk,” kata Sufiati melalui telepon pada Kamis, 25 Oktober lalu. Sejak ditahan di Lapas Sungguminasa, sang ibu mengaku baru lima kali bisa menjenguknya.
Aco kini masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pelaksanaan hukuman mati terpidana narkoba di Indonesia diatur lewat Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Meski demikian, kritik terhadap hukuman mati ini terus mengalir.
Terutama pada momen khusus seperti peringatan Hari Anti Hukuman Mati Internasional yang jatuh pada 10 Oktober lalu.
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Muhammad Haedir termasuk menolak hukuman mati yang dia anggap tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan. Menurut dia, hukuman mati juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. “Sudah jelas bahwa hak hidup orang tak boleh dikurangi sama sekali, dalam keadaan apapun,” kata Haedir di kantornya, 31 Oktober lalu.
Adapun Komnas HAM mendesak pemerintah melakukan moratorium hukuman mati. Ini disuarakan dalam memperingati Hari Anti Hukuman Mati pada 10 Oktober 2018.
“Komnas HAM mengingatkan kembali untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan segala upaya penghormatan dan perlindungan hak hidup. Beberapa yang perlu dilakukan adalah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati,” ujar Komisioner Komnas HAM, Mochamad Choirul Anam, lewat keterangannya pada Selasa malam, 9 Oktober 2018.
****
Sebelum divonis hukuman mati, setidaknya Aco tiga kali keluar masuk penjara gara-gara kasus narkoba. Kuasa hukum yang mendampingi Amir Aco saat divonis mati, Muhammad Yunus, mengungkapkan, terakhir Aco menjalani hukuman seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Balikpapan. Ia kabur dari penjara Balikpapan menuju ke Makassar pada 18 November 2014. Aco kabur dari penjara dengan naik tangga yang telah disiapkan seseorang. “Sekitar pukul 01.00-02.00 dini hari, Aco sama temannya panjat pagar kemudian lari,” ujar Yunus saat ditemui di Pengadilan Negeri Makassar, 11 Oktober lalu. Di luar penjara, seseorang telah menunggu Aco. “Entah teman atau keluarganya. Kami tak tahu persis bagaimana pelariannya sampai ke Makassar,” kata dia.
Tiga bulan bersembunyi di Makassar, Aco berganti nama menjadi Ardi Daeng Nai. Ia kembali tertangkap oleh polisi pada 17 Januari 2015. Aco disergap ketika sedang menghabiskan malam di tempat karaoke, Studio 33, di Hotel Clarion Makassar. Polisi menangkap kembali Aco setelah menyelidiki kasus narkotik lain yang melibatkan tersangka Michael Wibisono (33 tahun).
Baca juga: Amnesty Desak Arab Saudi Stop Hukuman Mati Terhadap Aktivis
Michael tertangkap secara kebetulan ketika polisi berpatroli di Jalan Botolempangan, Makassar. Ketika hendak turun dari taksi, Michael melihat polisi berkerumun di depan Hotel Singgasana. Mengira dibuntuti, dia meminta sopir taksi tancap gas. Polisi yang mencurigai taksi tersebut langsung mengejarnya dan menangkap Michael dengan bukti sabu seberat tujuh gram. Ketika diperiksa, kepada polisi, Michael mengaku mendapatkan serbuk haram itu dari Aco.
Awalnya, menurut Yunus, Aco tak mengaku memiliki sabu. Apalagi, di kamar karaoke tempat dia ditangkap polisi tak ditemukan narkoba. Setelah diinterogasi dan diancam akan ditembak, kata Yunus, Aco akhirnya mengaku masih menyimpan sabu di rumah kontrakannya di Jalan Lamadukelleng Buntu.
Di rumah tersebut polisi menemukan sabu seberat 1.200 gram dan pil ekstasi sebanyak 4.188 butir. Jika terjual, sabu dan ekstasi itu harganya bisa sampai Rp 4 miliar.
Di Pengadilan Negeri Makassar, Aco akhirnya dijatuhi hukuman mati. Juru bicara Pengadilan Negeri Makassar, Bambang Nurcahyono, mengungkapkan, Aco divonis mati karena barang bukti narkotik yang dia sembunyikan terbilang besar. “Dia dijatuhi hukuman mati karena banyak sabunya. Dia sudah bandar besar. Itu salah satu pertimbangan majelis hakim,” kata Bambang pada 24 Oktober lalu.
Sebagai kuasa hukum , Yunus sempat mengusahakan agar kliennya tak divonis hukuman mati namun hanya dihukum seumur hidup. Pengacara dari Pos Bantuan Hukum ini mengajukan permohonan banding. Dalilnya, terdakwa hanya tamatan sekolah dasar. Aco juga mengaku hanya menerima perintah untuk mengirim barang dan menerima upah dari seorang “bos” narkoba bernama Roby yang tinggal di Jakarta. Sebelum terjerat jaringan narkoba, Aco bekerja sebagai penjual ikan dan buah-buahan di Balikpapan. Ketika proses banding bergulir, entah kenapa, keluarga Aco mencabut surat kuasa dari Yunus dan rekan-rekannya. Di pengadilan banding dan kasasi, Aco tetap divonis mati.
Dua tahun kemudian, Aco kembali mengendalikan peredaran 980 butir pil ekstasi dari dalam Lapas Makassar. Aco pun diadili lagi. Kali ini, Bambang Nurcahyono menjadi anggota majelis hakim yang menjatuhkan putusan “nihil”. Menurut Bambang, putusan hakim berbunyi “nihil” lantaran sebelumnya Aco sudah divonis mati. “Itu adalah keputusan tertinggi,” kata Bambang.
Kasus terakhir sempat menyeret ibu kandung Aco, Sufiati. Polisi mencurigai Sufiati membantu Aco memasukkan pil ekstasi asal Belanda itu ke penjara. Kepada Tempo, Sufiati tak membantah pernah “menginap” di kantor polisi selama satu penjara. “Saya memang sempat dicari-cari karena pil dari Belanda itu,” ujar dia. Tapi, Sufiati membantah menyelundupkan narkoba ke penjara. “Yang kasih masuk (ekstasi) teman sekamarnya, bukan saya.”
Di samping menghubungi Sufiati, Tempo juga menelusuri alamat rumah Amir Aco di Jalan Sultan Alauddin II Lorong I Nomor 8, Kota Makassar. Tapi, warga sepanjang lorong itu tidak mengenali nama Aco ataupun Sufiati. Rumah bercat hijau dengan pagar hitam itu terkunci terkunci rapat. Di depan rumah terpampang tulisan “Rumah Dijual”. “Saya tidak tahu siapa namanya yang punya. Tapi anaknya dipenjara karena narkoba,” kata seorang tetangga. Pemilik rumah itu, kata dia, sudah lama tak ada di Makassar. “Saya tidak tahu dimana pemiliknya.”
Tempo juga mencoba mengunjungi Aco di Lapas Narkotika Sungguminasa. Namun, Kepala Lapas Victor Teguh Prihartono tak mengizinkan untuk bertemu. Menurut Victor, di penjara Aco kini dijaga lebih ekstra. Kamarnya selalu terkunci. Dia tidak boleh berbaur dengan narapidana lainnya. “Aco itu terpidana mati. Kalau dia lari lagi, kami kena hukum semua,” kata Victor, 17 Oktober lalu.
***
Kasus Narkoba di Sulawesi Selatan
Sejak tiga tahun terakhir, Pengadilan di Sulawesi Selatan sedikitnya telah menjatuhkan hukuman mati bagi tiga terdakwa kasus narkoba. Mereka adalah Amiruddin alias Amir Aco yang divonis di Pengadilan Negeri Makassar (2015), Amir alias Dawang di Pengadilan Negeri Pinrang (2015), dan Hartono di Pengadilan Negeri Parepare (2016). Namun, pada saat yang sama, peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Sulawesi Selatan cenderung meningkat. Berikut ini data yang dihimpun Tempo:
# Pengedar dan bandar narkoba yang tertangakap
2016: 12.423 orang,
2017: 19.514 orang.
# Penyalahguna narkoba yang terjaring:
2016: 15.869 orang
2017: 21.961 orang.
# Pengguna narkoba yang direhabilitasi:
2016: 1.214 orang
2017: 794 orang.
# Kasus yang terungkap:
2016: 1.613 kasus
2017: 1.442 kasus.