TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center sekaligus Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Sofian Effendi, mengatakan alasan banyak kepala daerah terjerat korupsi lantaran biaya politik yang mahal. Para kepala daerah yang terpilih ini berusaha mencari uang tambahan untuk menutup biaya yang dikeluarkan saat pencalonan.
Simak: KPK Malu 2 Bupati di Jawa Barat Kena Operasi Tangkap Tangan
Sofian menuturkan gaji seorang bupati berkisar Rp 8-9 juta. Sementara itu ongkos politik yang harus dikeluarkan agar terpilih mencapai puluhan miliar. Ia mencontohkan kasus korupsi mantan bupati Klaten, Sri Hartini. Dalam pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap jika ia mengeluarkan Rp 56 miliar untuk menjadi bupati.
"Jelas tidak akan mungkin mengembalikan cost dari kantong sendiri. Dia pasti cari biaya untuk recover cost itu karena dari gaji sendiri enggak mungkin," katanya saat memberi pidato kunci dalam seminar nasional Darurat Korupsi Kepala Daerah di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 14 November 2018.
Menurut Sofian, dengan gaji bupati antara Rp 8-9 juta maka perlu 100 tahun menjabat jika ingin menutup ongkos politik yang sudah dikeluarkan saat pemilihan.
Sofian mengatakan sudah tepat jika saat ini Indonesia disebut darurat korupsi kepala daerah. Merujuk data Kementerian Dalam Negeri, sejak 2004 sudah ada 434 kepala daerah yang terjaring OTT KPK. "Mengapa banyak kepala daerah kena OTT, karena berusaha recover cost yang dikeluarkan untuk terpilih. Biaya jadi pejabat di Indonesia ini mahal," kata dia.
Baca: Dalam 6 Tahun KPK Tangkap 34 Kepala Daerah, Berikut Daftarnya
Menurut Sofian, dengan maraknya kepala daerah korupsi di Indonesia membuat anggaran yang dikeluarkan pemerintah menjadi tidak efektif alias bocor. Dari APBN yang berjumlah Rp 2.200 triliun, kata dia, bocor Rp 880 miliar. "Bayangkan uang sebesar Rp 880 miliar tidak berguna untuk pembangunan, memperbaiki public service ke masyarakat, akibatnya uang yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan manfaat yang diterima oleh rakyat," katanya.