Akses jalan di Desa Suruh Tembawang memang sangat tidak memadai. Hanya ada badan jalan bertanah merah bercampur kerikil. Jalan sangat terjal dan licin, jika hujan mengguyur wilayah itu. Kata Gatot, jika hujan turun, apabila tidak berhati-hati berjalan, bisa masuk jurang yang ada di samping jalan.
Selain kesulitan akses jalan dan logistik, pasukan Satgas Pamtas ini juga kesulitan mendapatkan informasi, karena tidak ada sinyal internet. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga nun jauh di sana via telepon atau pesan singkat.
Patok perbatasan RI-Malaysia di Desa Gun Tembawang. TEMPO/Dewi Nurita
Untuk menelepon, mereka membuat sebuah kayu yang bisa menjadi penyangga telepon genggam. Kayu tersebut diletakkan di sebuah tempat, yang bisa menangkap sinyal. Telepon pun harus didengar dengan speaker dan dijaga posisinya tidak bergerak agar sinyal tidak putus-putus. "Kami harus bicara keras-keras. Kalau telepon diangkat dari kayu itu, sinyal hilang," ujar Gatot bercerita.
Baca: TNI Dirikan Tenda Huntara untuk Korban Likuifaksi Gempa Palu
Adapun tugas pokok personel Pamtas ini adalah menjaga patok perbatasan dengan melakukan operasi patroli patok. Ada 87 patok yang menjadi batas wilayah RI-Malaysia, yang harus dijaga agar tidak ada pergeseran. Satgas juga bertugas mengawasi keluar-masuk barang ilegal dari dan menuju desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia itu.
Selama kurang lebih enam bulan bertugas di wilayah tersebut, Gatot dan anggotanya mengaku belum pernah menemukan barang ilegal masuk melalui Desa Suruh Tembawang. Desa itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melalui Kampung Sepit, Serawak Malaysia.