TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Nono Sampono membenarkan lembaganya mengirim surat permintaan peninjauan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK). Surat bertanggal 21 September 2018 itu dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sejumlah lembaga negara.
Baca: Soal Aturan DPD, Oesman Sapta Odang Gugat KPU ke Bawaslu
Namun, Nono mengatakan surat permintaan peninjauan keberadaan MK semacam itu tak hanya berasal dari lembaganya. Dia mengklaim Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga mengirimkan surat serupa kepada Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya.
"DPR juga membuat dan MPR juga, tiga lembaga yang membuat. Baru pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan, sebuah keputusan lembaga peradilan direspons oleh tiga lembaga," kata Nono di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 31 Oktober 2018.
Surat bertanggal 21 September itu menyoal Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD. DPD menilai putusan itu menghilangkan hak-hak politik dan konstitusional warga negara.
Baca: MA Kabulkan Gugatan OSO, Yusril: Kalau KPU Ngeyel, Kami Lawan
Putusan MK itu juga dinilai menjadi dasar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menerbitkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Anggota DPD. Nono mengatakan, DPD menilai PKPU ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara.
"DPD RI menyatakan sikap politiknya untuk segera meninjau kembali keberadaan Mahkamah Konstitusi yang dalam pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusionalnya tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewajiban mengawal penegakan hukum dan konstitusi," demikian bunyi surat tersebut. Surat itu ditandatangani oleh Nono dan diberi stempel resmi DPD.
Nono mengatakan, dirinya menandatangani surat itu berdasarkan keputusan rapat pimpinan DPD. Dia berujar, Ketua DPD Oesman Sapta Odang tak bisa meneken langsung sebab dia menjadi pihak terkait dalam polemik PKPU itu. "Dia kan obyeknya langsung, enggak mungkin tanda tangan," kata dia.
Baca: Tak Mundur dari Partai, Oesman Sapta Odang Dicoret dari Caleg DPD
OSO, sapaan Oesman, sebelumnya dicoret dari daftar calon anggota legislator DPD oleh KPU lantaran merupakan pengurus partai politik. Ketua Umum Partai Hanura itu lantas mengajukan uji materi PKPU itu ke Mahkamah Agung dan menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Belakangan MA mengabulkan gugatan OSO.
Dalam putusan bertanggal 23 Juli lalu, MK menetapkan anggota DPD tak boleh merupakan pengurus partai politik dengan sejumlah alasan. Salah satunya, MK berpandangan pelarangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD bertujuan menghindari distorsi politik. Distorsi yang dimaksud ialah lahirnya perwakilan ganda atau double representation partai politik dalam pengambilan putusan.
Nono mengklaim surat tersebut dikeluarkan bukan hanya karena OSO menjadi pihak yang dirugikan. Namun, dia tak membeberkan alasan lembaganya secara jelas. Nono hanya berulang kali menyebut bahwa surat serupa juga dilayangkan oleh DPR dan MPR. Menurut Nono, adanya surat-surat tersebut menunjukkan ada sesuatu dari putusan MK itu.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengaku tak pernah menandatangani surat seperti yang disebutkan Nono. "Enggak ada tuh," kata Bambang ketika dikonfirmasi, Rabu, 31 Oktober 2018.