INFO NASIONAL-- Petani dan nelayan memiliki posisi yang sangat strategis dalam pemenuhan pangan masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan komoditas pertanian dan perikanan amat perlu dilakukan. Konflik agraria dan sengketa tanah masih menjadi salah satu gesekan yang mengganggu efektivitas kehidupan pertanian dan perikanan.
Banyak masyarakat khususnya petani dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan akhirnya menjadi pengangguran. Pengangguran menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di daerah terpencil seperti perdesaan yang sebagian besar adalah petani dan nelayan.
Baca Juga:
Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), selama 4 Tahun ini, terus berupaya melakukan pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan, penanggulangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja mulai dari perkotaan hingga perdesaan melalui Reforma Agraria. Reforma Agraria hadir untuk mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Hal tersebut didukung sebagai Program Prioritas Nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018.
Reforma Agraria (RA) dalam pelaksanaannya dilakukan melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk mengatasi masalah ketimpangan tanah. Reforma Agraria dilakukan melalui Redistribusi Tanah dan Sertipikasi Tanah serta Program Pemberdayaan Masyarakat, dengan demikian masyarakat penerima aset tanah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Baca Juga:
Setidaknya ada dua pemicu konflik agraria, pertama kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait status tanah dan kepemilikan maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada konflik.
Reforma Agraria diharapkan dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, maupun tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
Penelantaran tanah yang terjadi di perdesaan dan perkotaan dapat menghilangkan manfaat secara ekonomis dan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dipenuhi para pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanah. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi sosial. Dan yang paling utama adalah tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah. Oleh karena itu RA memiliki peran yang sangat strategis dalam menuntaskan beberapa permasalahan tersebut.
Kementerian ATR/BPN telah menindak para pemegang hak yang menelantarkan tanahnya. Dalam kurun waktu antara tahun 2015-2018 telah dilakukan penertiban tanah terlantar dengan capaian dalam bentuk 24 SK Penetapan Tanah Terlantar seluas 7.072,57 Hektare, Tanah yang dilepaskan pemegang hak seluas 4.275,16 Hektare dan SK Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara (SKTCUN) seluas 415,52 Hektare.
Keseriusan Kementerian ATR/BPN dalam mendorong pelaksanaan Redistribusi Tanah ditunjukkan dengan capaian kegiatan Sertipikasi Redistribusi Tanah dari Tahun 2015 sampai dengan September 2018 yang telah mencapai 316.220 bidang tanah dengan cakupan luas mencapai 235.753 hektare.
Dampak yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat petani penerima adalah memberikan tambahan skala ekonomi atas tanah yang dapat diolah untuk meningkatkan hasil pertanian. Selain itu tentunya masyarakat petani penerima mendapatkan jaminan kepastian hukum kepemilikan tanahnya, seperti yang dialami oleh sejumlah masyarakat petani di Provinsi Kalimantan Barat dan daerah lainnya.
Selain itu, peningkatan efisiensi, produktivitas dan kualitas lingkungan sekaligus memberikan kepastian hukum hak atas tanah masyarakat perlu dilakukan melalui kegiatan konsolidasi tanah. Hasil konsolidasi tanah dapat dimanfaatkan untuk pembangunan prasarana dan sarana sosial, ekonomi, budaya serta utilitas. Selain itu, adanya jaminan kepastian hukum atas bidang tanah hasil penataan melalui konsolidasi tanah menjadi tolok ukur pelaksanaan konsolidasi tanah. Tertib tata ruang untuk kehidupan yang lebih baik merupakan nilai tambah dari konsolidasi tanah.
Manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat peserta konsolidasi tanah adalah meningkatnya kualitas lingkungan tempat tinggalnya, terbukanya akses tanah pada jalan, tersedianya tanah bagi pembangunan fasilitas umum/fasilitas sosial, serta peningkatan harga tanah pada lokasi tersebut. Selain itu tentunya masyarakat peserta konsolidasi tanah mendapatkan jaminan kepastian hukum status kepemilikan tanahnya. Kegiatan Sertipikasi Konsolidasi Tanah dari tahun 2015 sampai dengan bulan September 2018 telah mencapai 11.599 bidang tanah.
Pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan dan memperkuat persatuan melalui pembauran menjadi tujuan dilaksanakannya transmigrasi. Kementerian ATR/BPN terus berupaya untuk mendukung pelaksanaan transmigrasi dengan menerbitkan sertipikat di lokasi transmigrasi sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan diusahakan oleh transmigran. Sepanjang 2015 sampai September 2018, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan sertipikat untuk transmigran sebanyak 22.749 bidang tanah. (*)