TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah berkiprah selama 20 tahun memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di Indonesia. Pada momentum ulang tahun ke-20, Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan masih banyak hal yang perlu direfleksikan.
Baca juga: Komnas Perempuan Gelar Peringatan Tragedi Mei 1998 di TPU Ranggon
"Salah satu temuan penting Komnas Perempuan adalah bungkamnya korban kekerasan seksual pasca-tragedi Mei 1998," kata Azriana kepada Tempo saat ditemui seusai acara Refleksi 2 Dasawarsa Upaya Penghapusan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Hotel Sari Pan Pasific, Rabu, 31 Oktober 2018.
Menurut Azriana, setidaknya ada tujuh faktor penting yang menyebabkan korban enggan buka mulut terkait kekerasan seksual yang dialami. Dari penelusuran Komnas Perempuan dari data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), korban rata-rata tak mau bersuara karena stigma dan tekanan sosial.
Pertama, kata Azriana, sikap masyarakat acap tak mau berempati dengan korban. Perempuan yang telah dirundung perilaku perkosaan kerap dipandang sebelah mata. Maka, karena takut dengan pandangan sosial, korban memilih menutupinya.
Baca juga: Hari Kartini, Komnas Perempuan: Perempuan Kendeng Para Pejuang
Kedua, situasi trauma. Pengakuan korban terhadal kondisi ini tercatat dalam dokumen laporan pelapor khusus Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual. Ketiga, sikap keluarga yang telanjur mengungsikan korban. Keluarga pada umumnya juga langsung meminta korban tak menceritakan pelecehan tersebut kepada orang lain.
Keempat, sikap negara. Komnas Perempuan menyorot, sikap tidak tegas pemerintah terhadap pelaku dan malah seolah-olah menutupi kasus tersebut. Pemerintah juga membiarkan kontroversi yang berkembang bahwa kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual itu seakan-akan hanya kabar simpang-siur.
Kelima, buruknya sistem hukum di Indonesia. Azriana mencontohkan masalah visum. "Korban yang mengaku diperkosa akan ditindak visum. Namun visum itu dilakukan sekarang, setelah 20 tahun kejadian," kata Azriana. Visum yang dilakukan setelah bertahun-tahun peristiwa terjadi dianggap tak ada gunanya. Sebab, dalam 20 tahun, fisik orang sudah berubah.
Selanjutnya, keenam, adanya kasus masa lalu yang belum terungkap soal kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Lantaran para korban tragedi 1998 itu adalah Tionghoa, mereka merasa tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah. Sebab, di kasus-kasus sebelumnya yang menyeret etnis ini sebagai korban, langkah hukum kerap mandek tanpa hasil.
Terakhir, ketujuh, nilai budaya masyarakat. Masyarakat umumnya masih memandang para korban pelecehan seksual ini memiliki aib.
Adapun Komnas Perempuan mencatat, ada 152 kasus pelecehan seksual terhadap perempuan pada tragedi Mei 1998. Sebanyak 85 di antaranya adalah perkosaan. Sisanya ditelanjangi dan pelecehan yang bukan diperkosa.