TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih perlu dibenahi setelah berjalan selama empat tahun. Salah satunya terkait dengan defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan.
Baca juga: Defisit BPJS Kesehatan, Istana: Kenaikan Premi Belum Jadi Opsi
Nila mengatakan, BPJS Kesehatan memiliki lebih banyak pengeluaran dibanding pendapatan. Sebabnya, iuran yang dipungut tak sebanding dengan klaim yang harus dibayarkan.
"Kenaikan iuran sekarang tidak dilakukan, jadi harus ada effort lain yang mesti dilakukan," kata Nila saat ditanya strategi pemerintah menghadapi defisit tersebut di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018.
Upaya tersebut antara lain mengetatkan pengeluaran BPJS Kesehatan. Dia menuturkan, badan tersebut mencoba mengecilkan potensi penyalahgunaan pelayanan kesehatan. Sejak 2015, BPJS Kesehatan meningkatkan sistem kendali mutu dan biaya.
BPJS Kesehatan juga harus memantau potensi defisit dari moral hazard penggunaan pelayanan. Moral hazard yang dimaksud, misalnya, penggunaan BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit berat oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Dengan membayar premi tertinggi Rp 60 ribu, peserta tersebut mengajukan klaim senilai lebih dari Rp 100 juta. Di sisi lain, peserta itu juga mengajukan klaim kepada asuransi komersial.
Kementerian Kesehatan juga melakukan pencegahan penyakit untuk mengurangi pengeluaran BPJS Kesehatan. Salah satunya dengan menggencarkan program Indonesia sehat melalui pendekatan keluarga dan gerakan masyarakat hidup sehat (Germas).
Baca juga: Fahri Hamzah: Jokowi Harus Tangani Defisit BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Tahun ini, badan tersebut memperkirakan defisit hingga Rp 10,98 triliun. Pemerintah telah menyuntik dana sebesar Rp 4,9 triliun untuk menutup defisit tersebut.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat berang gara-gara BPJS Kesehatan mengalami defisit. Ia meminta Menteri Kesehatan dan Direktur Utama BPJS mencari solusi atas masalah ini.