TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keberatan dengan pernyataan kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), Denny Indrayana terkait kelanjutan proyek Meikarta. KPK menilai Denny telah menggunakan pernyataan KPK untuk melegitimasi kelanjutan pembangunan proyek tersebut.
Baca: Denny Indrayana: Pembangunan Meikarta Tetap Berlanjut
"Kami keberatan dengan poin di siaran pers tersebut yang seolah-olah pernyataan KPK dijadikan legitimasi untuk meneruskan proyek Meikarta," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Kamis, 18 Oktober 2018.
Febri mengatakan KPK tidak pernah menyampaikan setuju atau tidak setuju proyek Meikarta diteruskan. Menurut Febri, saat ini, KPK fokus pada pokok perkara dugaan suap terkait perizinan Meikarta.
"Sejauh ini, di KPK, belum ada pembahasan tentang apakah ada atau tidak ada rekomendasi penghentian atau pencabutan izin Meikarta," kata Febri.
Baca: Denny Indrayana Jadi Kuasa Hukum Pengembang Meikarta
Sebelumnya, Denny selaku kuasa hukum PT MSU lewat keterangan pers menyatakan pembangunan Meikarta akan tetap dilanjutkan kendati proyek tersebut tengah diselidiki KPK terkait kasus dugaan suap perizinan. Anak usaha Lippo Group itu menilai antara proses hukum yang tengah berlangsung di KPK dan pembangunan Meikarta adalah dua hal yang terpisah.
"Secara hukum dan sejalan dengan keterangan KPK, proses hukum yang saat ini berlangsung di KPK adalah hal yang terpisah dan berbeda dengan proses pembangunan yang masih berjalan di Meikarta," kata Denny.
Denny mendasarkan pernyataannya itu atas sikap KPK yang menyatakan lembaganya tidak berwenang melakukan moratorium terhadap proyek Meikarta lantaran proyek tersebut tidak didanai APBN. Berdasarkan pernyataan KPK itu, Denny mengatakan PT MSU dapat meneruskan pembangunan yang telah berjalan.
Baca: Alasan Denny Indrayana Mau Jadi Pengacara Penggarap Meikarta
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng dan empat pejabat dinas Kabupaten Bekasi sebagai tersangka penerima suap terkait pengurusan izin proyek Meikarta. Mereka disangka menerima suap Rp 7 miliar dari komitmen fee Rp 13 miliar terkait pengurusan izin proyek tersebut. KPK menyangka komitmen fee itu diberikan oleh Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen.