TEMPO.CO, Palu - Lima jurnalis asal Palu, Sulawesi Tengah, diganjar penghargaan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) atas pengalamannya meliput gempa Palu yang diiringi tsunami pada akhir September lalu. Kelimanya dinilai teguh mengamalkan profesi meski berhadapan dengan keadaan yang mengancam.
Baca: Sekjen PBB Apresiasi Langkah Pemerintah Tangani Gempa Palu
Para jurnalis tersebut adalah Abdy Mari (jurnalis TV One), Ody Rahman (jurnalis NET), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (jurnalis Radar TV), dan Ary Al-Abassy (jurnalis TVRI). Para wartawan televisi itu masih mengutamakan bertugas saat gempa sebesar 7,4 skala Richter melanda Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018.
“Saat gempa terjadi, kami berada di jalur trans-Palu dekat dengan Pelabuhan Pantoloan,” ujar Abdy saat ditemui Tempo di kantor Aliansi Jurnalis Independen Kota Palu, Jumat malam, 12 Oktober 2018. Kabar kisah heroik peliputan lima jurnalis ini sebelumnya berestafet melalui pesan-pesan pendek.
Kepada Tempo, empat di antara lima jurnalis itu pun memaparkan peristiwa yang membuat mereka diganjar apresiasi tinggi lantaran pekerjaannya. Kisah itu berawal dari gempa pertama yang melanda Kota Palu pada 28 September. Gempa tersebut berkekuatan 5,9 skala Richter dan terjadi pada pukul 14.00 waktu setempat.
Gempa pertama ini berimbas pada kerusakan sejumlah bangunan. Tiga orang dikabarkan meninggal karenanya. Selang sejam dari peristiwa itu, kelima jurnalis tersebut berinisiatif untuk mengkroscek kebenaran. Mereka menuju wilayah terdampak gempa di Sirenja dan menyewa mobil untuk meliputnya.
Kondisi Pantai Talise, Palu, 12 hari setelah gempa dan tsunami melanda kota itu. Foto diambil dari jalur utama Pantai Talise, Rabu, 10 Oktober 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana
“Sampai di KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Pantoloan, ada guncangan hebat dan mobil kami berhenti,” ujar Ody. Ody, yang menyetir mobil, merasa terpelanting. Maka itu, ia segera mengunci mobilnya dengan rem tangan.
Mereka melihat tanah bergelombang. Orang-orang pun berteriak minta tolong dan suara istighfar membahana. Saat itu, kelimanya siaga merekam kejadian menggunakan ponsel. Tak lama berselang, ada teriakan tsunami dan tak jauh di belakang mereka, buih putih air laut tampak mengejar.
Mobil itu dilaju menuju ketinggian. Di tengah jalan, para warga berteriak sambil berlari. Mobil jurnalis ini membantu mengangkut sebanyak-banyaknya warga hingga di dalam mobil itu terisi 12 orang. Pintu mobil pun tak bisa dibuka.
Sejauh dua kilometer, mobil mereka sudah aman di tempat tinggi. Namun kelimanya memutuskan kembali ke titik awal mereka menyaksikan tsunami untuk merekam kejadian. Kelimanya mengeluarkan kamera dan sempat mewawancarai korban di sana.
Ketika tengah merekam kejadian, gempa susulan besar terjadi. Abdy, yang saat itu sedang mengoperasikan kameranya, mengaku oleng. Ia pun menghentikan wawancranya dengan warga dan kembali berlari ke mobil bersama keempat jurnalis lain.
Kondisi kawasan Petobo yang terdampak likuifaksi pascagempa di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu, 10 Oktober 2018. BNPB menyatakan sekitar 5.000 orang diduga hilang akibat likuifaksi di kawasan perumahan Petobo dan Balaroa. Jumlah itu didapat berdasarkan laporan dari kepala desa di kedua kawasan tersebut. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Mobil berkapasitas tujuh orang itu lalu melesat menuju pegunungan. Di sekitar mereka tampak rumah-rumah bergeser dari tempatnya, tiang-tiang listrik roboh, dan manusia tergeletak. Detik-detik situasi yang genting itu tak luput direkam oleh para jurnalis. Mereka juga membantu evakuasi para warga yang terimbas gempa dengan mengantar ke tempat lebih aman. Rata-rata, para warga sudah luka-luka hingga telanjang.
Lima kawanan jurnalis itu menyaksikan kota mati dalam sekejap. Lampu padam, listrik tak mengalir, dan jaringan buruk. Di tengah kegentingan, mereka sulit berkabar dengan keluarga. Mereka pun hampir putus asa karena hampir semua jalan terputus aksesnya. Sebab, mobil-mobil menumpuk di jalanan dan kondisi jalur rusak berat.
Kelimanya saat itu sama-sama ingin ke Palu: memastikan keluarga mereka selamat. Merasa terjebak karena tak bisa keluar, para jurnalis itu menghibur diri dengan bekerja. Mereka kembali merekam suasana yang kala itu mencekam dan penuh rintihan.
“Kami kehausan,” kata Ody. Salah satu jurnalis pun memungut minuman botol yang tergeletak di jalanan. Mereka membagi air minum satu botol itu untuk lima orang. Setelah itu, mereka kembali bekerja lagi. Tak lama berselang, rombongan petugas keamanan melintas menggunakan truk. Mereka mengabarkan Palu terimbas bencana. Kondisi kota itu parah. Kelimanya pun pasrah.
Baca: World Bank Janji US$5 Juta untuk Infrastruktur Korban Gempa Palu
Abdy memilih jalan kaki untuk memastikan kondisi rumah baik-baik saja. Sedangkan empat lainnya mencari jalan alternatif. Kelimanya tiba di kantor AJI pukul 23.00 Wita.
“Setelah itu kami ingin mengirimkan gambar ke kantor, tapi terkendala sinyal,” kata Abdy. Gambar tayangan ini lantas baru bisa diteruskan 2-3 hari pasca-gempa.
Abdy yang sudah sejak 1999 menjadi jurnalis mengaku baru pertama kali menyaksikan peristiwa bencana yang begitu besar dengan skala yang sangat merusak. Begitu juga dengan empat jurnalis lain. Kendati merasa sangat terancam jiwanya, naluri jurnalis mereka tak bisa lepas. Meski trauma, kelima jurnalis itu memilih mengabaikan peristiwa kemarin. Hingga kini, kelimanya masih terus meliput daerah mereka yang kena imbas.